Wednesday, December 3, 2008

LAFAL DAN MAKNA MENURUT ULAMA’ BALAGHAH

Penulis: Umar Manshur, MA

A. Pendahuluan
Salah satu faktor berkembangnya bahasa arab adalah perpindahan lafal-lafalnya dari satu makna ke makna lain, karena lafal dalam bahasa arab tidak selalu menetap dalam satu makna, akan tetapi ia bergerak dan berubah dan hal ini yang membuat bahasa arab kaya dan selalu bertambah kosa katanya.
Perpindahan lafal dari satu makna ke makna yang lain adalah tuntutan keadaan dan sesuai dengan beberapa tujuan kebahasaan. Sepanjang sejarah, orang arab telah terbiasa dengan perpindahan makna seperti ini, mereka tidak hanya menggunakan kalimat dengan satu makna, akan tetapi mereka menggunakan makna-makna baru yang disesuaikan dengan kebutuhan diri dan zaman yang mereka temui dalam kehidupan mereka[1].
Bahasa terdiri dari dua unsur penting yaitu lafal dan makna. Lafal adalah wadah dari makna, karena itulah, lafal yang baik adalah lafal yang digunakan untuk makna yang sesuai dan tepat. Bahasa arab sebagai suatu bahasa juga terdiri dari lafal dan makna, dan orang arab sangatlah teliti dalam memilih lafal untuk suatu makna.

B. Pembahasan
Lafal dalam bahasa arab, menurut ulama’ balaghah sebagaimana disepakati oleh ulama ushul, jika ditinjau dari maknanya yang digunakan menjadi dua bagian yaitu; Hakikat dan Majaz. Hanya saja titik perbedaan antara ulama balaghah dan ulama ushul adalah terletak pada penggunaan majaz. Ulama balaghah mengharuskan adanya qarinah (petujuk/indikator) yang mencegah untuk dipahami sebagai makna asli, sementara ulama ushul membolehkan adanya qarinah yang tidak mencegah untuk dipahami sebagai makna asli, bahkan mereka lebih longgar dengan membolehkan majaz untuk tidak disertai oleh qarinah[2].

1. Hakikat
Hakikat menurut bahasa adalah sesuatu yang digunakan pada asal peletakannya dalam bahasa[3].
Sedangkan hakikat menurut istilah ulama’ balaghah adalah lafal yang digunakan dalam makna yang seharusnya pada istilah percakapan[4].
Penggunaan lafal dengan makna hakikat ini ada tiga macam[5]:
a. Hakikat Menurut Bahasa (حقييقة لغوية)
Hakikat secara bahasa adalah penggunaan lafal dalam makna bahasa yang seharusnya. Seperti lafal أسد yang digunakan untuk hewan buas.
b. Hakikat Menurut Kebiasaan (حقيقة عرفية)
Hakikat secara kebiasaan adalah penggunaan lafal dalam makna kebiasaan baik kebiasaan umum atau kebiasaan khusus.
Ø Contoh dalam kebiasaan umum adalah seperti penggunaan lafal دابة untuk hewan yang berkaki empat, dimana pada awalnya lafal دابة ini digunakan untuk setiap sesuatu yang melata dimuka bumi.
Ø Contoh dalam kebiasaan khusus adalah seperti penggunaan istilah dalam bidang ilmu tertentu. Seperti: فاعل , رفع , نصب , dan lain-lain dalam bidang ilmu nahwu.
c. Hakikat Menurut Syara’ (حقيقة شرعية)
Hakikat secara syara’ adalah penggunaan lafal dalam makna syara’, seperti lafal الصلاة yang digunakan untuk ucapan dan perbuatan tertentu dalam suatu ibadah.
Sebagaimana lazimnya bahasa, maka makna hakikat ini seiring perkembangan zaman akan terus berkembang, karena itulah, makna hakikat dalam perkembangannya di era modern menurut Ahmad Muhammad Qaddur disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya[6]:
a. Faktor Politik
Seperti penggunaan kata ثورة yang pada mulanya kata ini hanya bermakna perbuatan-perbuatan keji dan gerakan-gerakan tercela. Pada perkembangannya kata ثورة ini kini bermakna revolusi atau gerakan bersenjata yang dianggap baik dan terpuji.
b. Faktor Peradaban
Seperti kata جريدة yang pada mulanya kata bermakna daun dari tumbuhan atau pepohonan yang digunakan untuk menulis ayat-ayat al-Qur'an pada masa dahulu, kini pada perkembangannya kata جريدة ini surat kabar harian atau terkadang juga disebut jurnal.
c. Faktor Keilmuan
Seperti kata غواصة yang pada mulanya kata ini bermakna orang yang sering menyelam atau orang yang menyelam dilaut untuk mencari mutiara, kini pada perkembangannya kata غواصة ini bermakna kapal perang untuk perang[7].
d. Faktor Adopsi
Seperti kata الطقس yang pada mulanya kata ini bermakna undang-undang pelayanan bagi kaum Nasrani, kini pada perkembangannya kata الطقس ini bermakna keadaan cuaca.
2. Majaz
Majaz menurut ulama balaghah adalah lafal yang digunakan bukan pada makna sebenarnya karena adanya hubungan (’alaqah) disertai petunjuk (qarinah) yang menghalangi dari pemahaman makna sebenarnya tersebut[8].
Majaz jika ditinjau dari sisi hubungan (’alaqah)-nya ada dua macam; yaitu jika hubungan (’alaqah) antara makna majazi dan makna hakiki adalah hubungan kesamaan (musyabahah) maka disebut Isti’arah, akan tetapi jika hubungan antara makna majazi dengan makna hakiki itu adalah hubungan selain kesamaan (ghair musyabahah) maka disebut Majaz Mursal[9].
a. Isti’arah (الاستعارة)
Secara bahasa Isti’arah terambil dari kata ”al-’ariyah” (pinjaman) yang mana Isti’arah adalah berarti meminta pinjaman. Sedangkan menurut istilah adalah: ”Menggunakan suatu lafal untuk selain arti asli yang ditetapkan karena adanya hubungan kesamaan antara arti yang dipindahkan dengan arti yang dipakai dengan disertai petunjuk yang memalingkan untuk menghendaki makna aslinya”[10].
Jika dilihat dari penyebutan dua ujung tasybihnya, maka Isti’arah terbagi menjadi Tashrihiyah dan Makniyah[11].
Isti’arah dinamakan Tashrihiyah apabila kalimat yang didalamnya digunakan lafal musyabah bih untuk musyabbah. Seperti firman Allah:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
Pada ayat ini terdapat lafal الظلمات yang digunakan untuk makna الضلال dan lafal النور yang digunakan untuk makna الهداية dan الإيمان . Ketika yang disebut adalah musyabbah bih yaitu lafal الظلمات dan النور maka disebut Isti’arah Tashrihiyah.
Isti’arah dinamakan Makniyah apabila kalimat yang didalamnya musyabbah bih-nya dibuang dan sebagai isyarat ditetapkan salah satu sifat khasnya. Seperti firman Allah:
وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا
Pada ayat ini kepala diserupakan dengan bahan bakar, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan diisyaratkan oleh salah satu sifatnya, yaitu isyta’ala (menyala). Ketika dalam keadaan seperti ini maka Isti’arah disebut dengan Isti’arah Makniyah.
Jika dilihat dari lafal yang dijadikan sebagai Isti’arah maka Isti’arah terbagi menjadi Ashliyah dan Taba’iyah[12].
Isti’arah dinamakan Ashliyah apabila lafal yang dijadikan sebagai Isti’arah berupa isim jamid. Seperti firman Allah:
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنْزَلْنَا
Pada ayat ini, yang digunakan sebagai istia’rah adalah lafal النور yang mana lafal ini adalah isim jamid, maka isti’rah seperti ini dinamakan isti’rah Ashliyah.
Isti’arah dinamakan Taba’iyah apabila lafal yang digunakan sebagai Isti’arah berupa fi’il atau isim musytaq. Seperti firman Allah:
وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ أَخَذَ الْأَلْوَاحَ
Pada ayat ini, yang digunakan sebagai Isti’arah adalah lafal سكتyang mana lafal ini adalah fi’il, maka Isti’arah yang seperti ini dinamakan Isti’arah Taba’iyah.
b. Majaz Mursal (المجاز المرسل)
Majaz Mursal adalah Menggunakan suatu lafal untuk selain maknanya yang asli karena adanya hubungan (’alaqah) yang selain keserupaan serta ada qarinah yang menghalangi pemahaman dengan makna yang asli[13].
Majaz Mursal mempunyai hubungan atau ’alaqah yang cukup banyak, diantaranya adalah[14]:
1. Al-Sababiyyah (السببية)
Yaitu adanya makna yang dipindahkan itu merupakan sebab dan memberikan pengaruh pada yang lainnya. Contohnya adalah: رعت الماشية الغيث (Binatang itu makan tumbuh-tumbuhan). Lafal الغيث diberi makna النبت (tumbuh-tumbuhan), sebab lafal الغيث yang artinya hujan merupakan sebab bagi tumbuh-tumbuhan itu.
2. Al-Musabbabiyyah (المسببية)
Yaitu adanya makna yang dipidahkan merupakan hal yang disebabkan dan akibat bagi sesuatu yang lain. Contohnya adalah firman Allah: وينزل لكم من السماء رزقا (Allah menurunkan hujan untukmu dari langit). Lafal رزق diartikan hujan, karena hujanlah yang menyebabkan rizki.
3. Al-Kulliyyah (الكلية)
Yaitu adanya makna yang dipindahkan menyimpan hal yang dimaksudkan dan yang lainnya. Hal itu dengan cara menyebutkan secara keseluruhan akan tetapi yang dimaksudkan adalah sebagiannya. Contohnya adalah: يجعلون أصابعهم في أذانهم (mereka menyumbat telinga mereka dengan ujung jari-jari mereka). Lafal اصابع diatas diartikan أنامل (ujung jari), karena tidak mungkin mereka memasukkan jari-jari mereka semua kedalam telinga.
4. Al-Juz’iyyah (الجزئية)
Yaitu adanya lafal yang disebutkan menyimpan makna sesuatu yang lain. Hal itu dengan cara menyebutkan sebagian akan tetapi yang dimaksudkan adalah keseluruhan. Contohnya adalah firman Allah: كل من عليها فان ويبقى وجه ربك ذو الجلال والاكرام (tiap-tiap yang ada di bumi akan binasaakan tetapi yang kekal adalah dzat Tuhanmu yang mempunyia kebesaran dan kemuliaan). Lafal وجه diartikan “dzat” disini, karena wajah merupakan bagian dari dzat.
5. Al-Lazimiyyah (اللازمية)
Yaitu sesuatu pasti terwujud dikala sesuatu yang lain terwujud. Contohnya adalah: طلع الضوء (matahari telah terbit). Lafal الضوء diartikan Matahari. Sebab cahaya pasti akan terwujud ketika matahari terbit.
6. Al-Malzumiyyah (الملزومية)
Yaitu adanya wujud sesuatu yang mewajibkan wujud sesuatu yang lain. Contohnya adalah: ملأت الشمس المكان (cahaya memenuhi tempat). Lafal الشمس diartikan cahaya, sebab ketika matahari ada pasti cahaya akan ada.
7. Al-Aliyah (الآلية)
Yaitu adanya sesuatu merupakan perantara untuk menyampaikan pengaruh sesuatu kepada yang lain, hal itu dengan cara menyebutkan alat, tetapi yang dimaksudkan adalah pengaruh yang yang dihasilkannya. Contohnya adalah firman Allah: واجعل لي لسان صدق في الآخرين (dan jadikanlah buatku lidah yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian). Lafal لسان diartikan ذكر حسن (buah tutur yang baik) sebab lisan adalah alat dalam buah tutur yang baik.
8. Al-’Umum (العموم)
Yaitu adanya suatu lafal yang menunjukkan kepada yang umum (banyak) tetapi yang dimaksudkan adalah satu. Contohnya adalah seperti firman Allah: أم يحسدون الناس (“apakah mereka dengki kepada orang-orang (Muhammad)”). Kata الناس pada ayat ini diartikan “Nabi Muhammad”. Oleh karenanya terlihat disini menyebutkan yang umum tetapi menghendaki arti khusus.
9. Al-Khusus (الخصوص)
Yaitu adanya lafal yang memang khusus untuk sesuatu yang satu, seperti mengucapkan nama seseorang untuk menghendaki suatu suku. Contohnya adalah: ربيعة dan قريش .
10. I’tibar Ma Kana (اعتبار ما كان)
Yaitu memandang kepada masa yang telah lewat. Contohnya adalah firman Allah: وآتوا اليتامى أموالهم (dan berikalah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka). Lafal diartikan anak-anak yatim yang kemudian memasuki usia dewasa. Inilah yang dimaksud I’tibar Ma Kana yaitu menganggap yang ada, akan tetapi menghendaki apa yang akan terjadi.
11. I’tibar Ma Yakun (اعتبار ما يكون)
Yaitu melihat apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang, hal itu dengan cara menyebut sesuatu dengan nama sesuatu yang akan terjadi setelah ada masa proses. Contohnya adalah:طحنت خبزا (Aku menggiling roti) pada kalimat tersebut lafal roti yng digunakan, akan tetapi maksudnya adalah biji gandum. Inilah majaz mursal yang ’alaqah-nya adalah menganggap apa yang bakal terjadi.
12. Haliyyah (الحالية)
Yaitu adanya sesuatu yang menempati pada lainnya, hal itu dengan cara meyebut keadaan tetapi yang dimaksud adalah tempat dimana keadaan itu berada.Contohnya adalah firman Allah: ففي رحمة الله هم فيها خالدون (maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga) mereka kekal berada didalamnya). Dalam ayat ini yang dimaksud rahmah adalah surga yang mana rahmah itu berada didalamnya.
13. Al-Mahalliyyah (المحلية)
Yaitu adanya sesuatu menjadi tempat bagi sesuatu yang lain, hal ini dengan cara menyebutkan tempat akan tetapi yang dimaksud adalah sesuatu yang berada di tempat tersebut. Contohnya adalah: قرر المجلس (majlis telah menetapkan). Dalam kalimat ini disebutkan lafal majlis akan tetapi yang dimaksud adalah orang-orang yang berada di majlis tersebut.
Demikianlah uraian tentang lafal dan makna menurut ulama’ balaghah yang terbagi kepada Hakikat dan Majaz.

C. Penutup

Kajian lafal dan makna yang dilakukan oleh ulama’ balaghah telah berlangsung sejak lama. Kajian makna dikalangan ulama’ ushul pada mulanya bertujuan untuk memahami makna teks-teks al-Qur’an, disamping juga untuk mengetahui sisi kemu’jizatan al-Qur’an ditijau dari segi lafal dan maknanya.

_______________________________

Daftar Pustaka

Al-Damanhuri, Ahmad, Hilyah al-Lub al-Mashun ‘Ala al-Jauhar al-Maknun, Surabaya, al-Hidayah, tt

Al-Hasyimi, Ahmad, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’, Surabaya, al-Hidayah, 1960

al-Jarim, Ali dan Amin, Mushtofa, Al-Balaghah al-Wadihah, Surabaya, al-Hidayah, 1961

Al-Suyuthi, Jalal al-Din, Uqud al-Juman, Surabaya, al-Hidayah, tt

Hilal, Abdul Ghaffar Hamid, Ilm al-Dilalah al-Lughawiyah, Kairo, Jami’ah al-Azhar, tt

Jinni, Ibnu, Al-Khashaiash, www.alwarraq.com

Makluf, Luwis, Al-Munjid Fi al-Lughah, Beirut, Dar al-Masyriq, 1998, cet:37

Mujahid,Abdul Karim, Al-Dilalah al-Lughawiyah ‘Inda al-Arab, tp. Kota, al-Maktabat wa al-Watsaiq al-Wathaniyah, 1985

Nashif, Hifni et.all, Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyah, Surabaya, al-Hikmah, tt

Qaddur, Ahmad Muhammad, Al-Lisaniyat Wa Afaq al-Dars al-Lughawi, Damaskus, Dar al-Fikr, 2001

Syahin, Taufiq Muhammad, Awamil Tanmiyah al-Lughah al-‘Arabiyah, Kairo, Maktabah Wahbah, 1980

Ulwan, Thariq, Dairah al-Ma’arif , Damaskus, Dar al-Ashama’, 2000

[1] Abdul Ghaffar Hamid Hilal, Ilm al-Dilalah al-Lughawiyah, (Kairo, Jami’ah al-Azhar, tt) hal: 115
[2] Abdul Karim Mujahid, Al-Dilalah al-Lughawiyah ‘Inda al-Arab, (tp. Kota, al-Maktabat wa al-Watsaiq al-Wathaniyah, 1985) hal: 83
[3] Ibnu Jinni, Al-Khashaiash, (www.alwarraq.com) hal: 1/227
[4] Jalal al-Din al-Suyuthi, Uqud al-Juman, (Surabaya, al-Hidayah, tt) hal: 91
[5] Taufiq Muhammad Syahin, Awamil Tanmiyah al-Lughah al-‘Arabiyah, (Kairo, Maktabah Wahbah, 1980) hal: 151
[6] Ahmad Muhammad Qaddur, Al-Lisaniyat Wa Afaq al-Dars al-Lughawi, (Damaskus, Dar al-Fikr, 2001) hal: 162-167
[7] Lihat: Luwis Makluf, Al-Munjid Fi al-Lughah, (Beirut, Dar al-Masyriq, 1998, cet:37) hal: 562
[8] Ahmad al-Damanhuri, Hilyah al-Lub al-Mashun ‘Ala al-Jauhar al-Maknun, (Surabaya, al-Hidayah, tt)hal: 116
[9] Hifni Nashif et.all, Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyah, (Surabaya, al-Hikmah, tt) hal: 97
[10] Asal dari pada Isti’arah adalah bentuk tasybih yang dibuang salah satu dari dua ujung tasybih, wajah syabah, adat tasybih-nya. Akan tetapi Isti’arah itu lebih sempurna dari pada tasybih, sebab tasybih itu sekalipun mencapai puncak kesempurnaan, akan tetapi masih perlu menyebutkan musyabbah dan musyabbah bih, inilah yang membedakan Isti’arah dengan tasybih, dan ‘alaqah dalam tasybih hanyalah penyerupaan dan pendekatan, tidak sampai pada batas menyatu. Berlainan dengan Isti’arah, sebab dalam Isti’arah terdapat pernyataan menyatu dan bercampurnya makna. Disamping itu musyabbah dan musyabbah bih-nya keduanya telah menjadi satu makna yang ditempati oleh salah satu kata. Lihat, Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’, (Surabaya, al-Hidayah, 1960) hal: 303-304
[11] Ali al-Jarim dan Mushtofa Amin, Al-Balaghah al-Wadihah, (Surabaya, al-Hidayah, 1961) hal: 75
[12] Thariq Ulwan, Dairah al-Ma’arif , (Damaskus, Dar al-Ashama’, 2000) hal: 131
[13] Ali al-Jarimi dan Musthofa Amin, al-Balaghah al-Wadihah, hal: 110
[14] Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’, hal:292-296

2 comments:

hannyacadieux said...

Titanium Plate Flat Iris: The Finest Grown Stone of Steel
This is the best stone of titanium dioxide in food steel you've ever used. This is your tube supplier best stone of steel you've ever titanium hair straightener used. This is the best stone of steel you've ever used. This is 출장샵 the best titanium water bottle stone of steel you've ever used. This is the best $19.99 · ‎In stock

sanees said...

rx556 nfl jerseys,nfl shop,nfl shop,Cheap Jerseys free shipping,nfl shop,Cheap Jerseys free shipping,cheap jordans,wholesale nfl jerseys,cheap jerseys im690