Friday, December 26, 2008

BAHASA ARAB DAN PEMBELAJARANNYA BAGI NON ARAB

Oleh: Lalu Mufti Sadri, MA.
A. Karakteristik Bahasa Arab
Bahasa Arab termasuk salah satu rumpun bahasa semit selain bahasa Mesir kuno, bahasa Berber, dan bahasa-bahasa kusyitika
[1]. Bahasa Arab banyak dipakai oleh bangsa-bangsa yang tinggal di sekitar sungai Tigris dan Eufrat, dataran Syria dan jazirah Arabia (timur tengah).[2] Bangsa-bangsa itu terbagi kepada beberapa suku dan kabilah, di mana yang satu dengan yang lainnya terpisah, kecuali hubungan mereka sangat lemah. Mereka memiliki adat-istiadat yang sama, hanya saja kesatuan bahasa yang terbentuk secara lemah itu terpelihara sangat baik, berkat adanya pasar Ukaz, yang selain sebagai tempat pertemuan bisnis, juga merupakan pertemuan seni-sastra di antara mereka.[3]
Sejak menjelang abad ketiga masehi, bahasa ini berkembang menjadi suatu bahasa yang terkenal. Dalam perkembangannya, bahasa Arab dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu a) bahasa Arab klasik yang merupakan bahasa al-Qur’an dan bahasa yang dipakai oleh para pujangga dan penyair seperti Ibnu Khaldun, al-Mutanabhi dan lain-lain, b) bahasa Arab sastra (fushha modern) adalah bahasa yang dipakai dalam surat kabar, radio, buku dan lain-lain, dan c) bahasa Arab tutur yaitu bahasa yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari.
[4]
Sedangkan varietas bahasa Arab menurut Clive Holes ada dua macam yaitu bahasa Arab fushha (MSA: modern standard arabic dan CLA: clasical arabic) dan bahasa Arab ‘âmiyah (the vernacular)
[5]. Adapun varietas bahasa Arab yang penulis kaji dalam penelitian ini yaitu bahasa Arab standar fushha sebagaimana yang digunakan oleh bahan ajar Tareq, selaku obyek kajian penulis dalam penelitian ini.
Bahasa Arab merupakan bahasa dengan jumlah penutur lebih dari 200 juta jiwa di dunia, bahasa ini telah menjadi bahasa Internasional yakni dengan dimasukkannya ke dalam salah satu bahasa resmi di Dewan Keamanan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) sejak 1 Januari 1974 di samping bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia dan China.
[6] Dengan demikian, bahasa Arab sendiri memiliki posisi khusus di antara bahasa-bahasa lain di dunia, karena bahasa Arab bagi kaum muslimin secara khusus memiliki arti penting untuk dipelajari. Ada beberapa alasan pentingnya bahasa Arab dikuasai oleh umat manusia, khususnya kaum muslimin yaitu karena bahasa Arab merupakan: a) bahasa al-Qur’an; b) bahasa dalam ibadah shalat; c) bahasa al-Hadits yang mulia; d) bahasa dalam pergaulan ekonomi bangsa Arab; dan e) bahasa dengan penutur cukup banyak di dunia.[7] Hal ini juga didukung oleh ungkapan ibnu Fâris bahwa bahasa Arab merupakan bahasa paling mulia dan luas, hal tersebut cukup ditunjukkan dengan dipilihnya bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an.[8]
Setiap bahasa memiliki karakteristik sendiri-sendiri, begitu juga dengan bahasa Arab dengan segala kelebihannya. Tidak diragukan lagi bahwa bahasa Arab memiliki susunan paling logis dan paling jelas keterangannya, juga paling unggul rasa bahasanya. Sebagaimana ungkapan Ibnu Khaldûn: ”Bahasa Arab merupakan harta yang dimiliki oleh orang Arab, karena bahasa Arab adalah sebenar-benar harta dan paling jelas keterangannya mengenai pengungkapan maksud dan tujuan”
[9] Jadi, motivasi mempelajari bahasa Arab tidak hanya terbatas pada kepentingan dunia namun juga kepentingan akherat karena di dalam Islam ada keharusan untuk menguasai bahasa Arab guna memahami al-Qur’an selaku kitab suci kaum muslimin.
Di samping itu, kelebihan dan keistimewaan bahasa Arab secara khusus juga dijelaskan oleh Suyutî dalam al-Muzhir
[10] antara lain: a) mufradatnya yang banyak dan tersebar pada pribahasa dan majas, b) al-ta’wîdh; yakni kata mengganti kata, seperti masdhar mengganti posisi amr contoh: ”Shabran ’ala Yâsir fainna mau’idakum al-jannah”, fâ’il mengganti mashdar contoh: ”laisa liwaqatiha kâzibah”. b) Faqq al-Idghâm; yakni meringankan kalimat dengan membuang, contoh: ”lam yaku”, c) tidak ada kecuali berlaku di bahasa Arab, contoh: pembedaan harakat berimplikasi kepada perbedaan makna, contoh: miftah (dengan mim baris kasrah) berarti kunci atau alat untuk membuka, sedangkan maftah (dengan mim baris fathah) berarti tempat membuka.
Bahasa Arab sangat kaya dengan mufradât dan mutarâdifât; kita menemukan kata-kata dalam bahasa Arab yang mengandung makna lebih dari satu seperti kata العيون و الجبن , kata al-‘uyûn kadang berarti indera penglihatan tapi juga bisa berarti sekumpulan orang yang mencari berita atau disebut sebagai mata-mata, ditambah lagi bahwa bahasa Arab kaya dengan persamaan kata (mutarâdifât) seperti kata أسد – الليث-الضيغم – الهزبر yang menunjukkan satu makna yaitu binatang pemangsa yang hidup di hutan-hutan, namun sebagian mufradât ini ada yang jelas dan dikenal maknanya namun ada juga yang tidak.
[11] Tarâduf dalam bahasa Arab bisa terdapat pada isim, fi‘il ataupun sifat dan lain sebagainya, seperti kata asad yang memiliki 500 kata, tsu’ban memiliki 200 kata, ‘asl memiliki 80 kata, kata saif memiliki 1000 kata, kata dhahiyyah memiliki 400 kata, kemudian untuk masing-masing kata mathar, rîh, nûr, hajar, mâ’, birr mencapai 20-300 kata. Kemudian kata yang berkaitan dengan jamal dan semacamnya mencapai 5.644 kata, juga kata-kata sifat yang masing-masing mencapai 10 kata.[12]
Bahasa Arab merupakan bahasa yang juga paling kaya dengan ”suara” yakni tidak ada bahasa di dunia ini yang melebihi bahasa Arab dalam hal pengucapan huruf-huruf yang sesuai dengan makhrajnya masing-masing. Satu huruf memiliki suara yang berbeda jika diucapkan, karena harakatnya yang beragam. Dari segi Sharf, bahasa Arab memiliki sistem pengembangan kosakata yang disebut dengan isytiqaq, yaitu perubahan bentuk kata yang terjadi dalam kosakata itu sendiri; atau kata itu memiliki tiga dasar, yakni terdiri dari af’âl, asmâ’ dan juga shifât yang dengan bentuk-bentuk tersebut bisa dibangun beragam kata. Selain itu, bahasa Arab merupakan bahasa Siyagh (yang memiliki bentuk-bentuk kata tertentu) yang bersama-sama dengan isytiqâq menjadi dasar pembentukan kosakata dan pengembangan bahasa Arab. Masih dengan topik yang sama, bahasa Arab juga merupakan bahasa Tashrif yakni bahasa yang memiliki huruf-huruf yang berubah akhirnya karena dirasa berat diucapkan oleh oleh orang Arab. contohnya kata ”ميزان ” seharusnya berbunyi ”موزان” namun berubah menjadi ”ميزان ” karena dirasa berat dalam pengucapan.
[13]
Bahasa Arab adalah bahasa yang memiliki beragam struktur kalimat, pola-pola kalimat yang dimiliki bermacam-macam. Ada jumlah ismiyah, jumlah fi’liyah, jumlah khabariyah, jumlah insyâ’iyah, jumlah istifhâmiyah, dan sebagainya. Atas dasar ini, maka bahasa Arab menjadi bahasa dengan pola pengungkapan yang beragam meskipun terkadang maknanya sama.
Dari segi qawâ‘id, bahasa Arab menyangkut sistem penulisan ucapan yang selalu ajeg, tidak seperti bahasa-bahasa lainnya dalam sistem penulisan dan pengucapan.
[14] Bahasa Arab dengan kaidah-kaidahnya mengatur bagaimana kata, klausa dan kalimat teratur dalam penulisan maupun pengucapan, bahkan penguasaan terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab membuat pembelajar cepat memahami struktur kalimat yang dipelajari.[15]

B. Pembelajaran Bahasa Arab bagi non Arab
Pembelajaran bahasa Arab bagi non Arab dimulai dari pertama kali pada abad ke 17, ketika bahasa Arab mulai diajarkan di Universitas Cambridge Inggris. Sementara di Amerika, perhatian terhadap bahasa Arab dan pembelajarannya baru dimulai pada tahun 1947 di sekolah-sekolah tentara Amerika. Di Mesir, terdapat banyak pusat pembelajaran bahasa Arab, ditandai dengan banyaknya proyek pengembangan bahasa Arab yang ada. Pada setiap pusat-pusat pembelajaran bahasa ini, dipastikan ada proyek pengembangan bahasa Arab lengkap dengan tujuan-tujuan khusus, sejumlah perencanaan dan materi-materinya.
[16]
Pembelajaran bahasa Arab bagi non Arab merupakan satu hal yang tidak bisa dihindari, karena urgensi bahasa Arab bagi masyarakat dunia saat ini, cukup tinggi baik yang muslim maupun non muslim. Hal ini terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga pembelajaran bahasa Arab diberbagai negara antara lain Lembaga Radio Mesir, Universitas Amerika di Mesir, Institur Kajian Keislaman di Madrid Spanyol, Institut Syamlan di Lebanon, Markaz Khortum di Sudan, LIPIA di Jakarta, Institut-Institut Pembelajaran bahasa Arab milik Yayasan al-Khoury dari Emirat Arab yang tersebar di Indonesia, masing-masing di Surabaya, Makasar, Malang, Bandung dan Solo, pondok-pondok Pesantren di Pelosok negeri ini.
[17]
Banyak alasan mengapa orang-orang non Arab mempelajari bahasa Arab, menurut Thu’aimah,
[18] beberapa alasan non Arab mempelajari bahasa Arab antara lain: a) Motivasi agama terutama Islam karena bahasa kitab suci kaum muslimin berbahasa Arab menjadikan bahasa Arab harus dipelajari sebagai alat untuk memahami ajaran agama yang bersumber dari kitab suci al-Qur’an; b) Orang non Arab akan merasa asing jika berkunjung ke Jazîrah Arabia yang biasanya menggunakan percakapan bahasa Arab baik ’âmiyah maupun fushha jika tidak menguasai bahasa Arab; c) Banyak karya-karya para ulama klasik bahkan hingga yang berkembang dewasa ini, menggunakan bahasa Arab dalam kajian-kajian tentang agama dan kehidupan keberagamaan kaum muslimin di dunia. Sehingga itu, untuk menggali dan memahami hukum maupun ajaran-ajaran agama yang ada di buku-buku klasik maupun modern, mutlak mengguanakan bahasa Arab.
Pembelajaran bahasa Arab dengan berbagai karakteristiknya serta motivasi mempelajarinya di kalangan masyarakat non Arab, tetap saja memiliki banyak kendala dan problematika yang dihadapi karena bahasa Arab tetap bukanlah bahasa yang mudah untuk dikuasai secara total. Problematika yang biasanya muncul dalam pembelajaran bahasa Arab bagi non Arab terbagi ke dalam dua problem; problem linguistik dan non linguistik. Adapun yang termasuk problem linguistik yaitu tata bunyi, kosakata, tata kalimat dan tulisan. Sementara yang termasuk pada problem non linguistik yang paling utama adalah problem yang menyangkut perbedaan sosiokultural masyarakat Arab dengan masyarakat non Arab.
Persoalan yang menyangkut aspek linguistik antara lain: pertama, masalah Tata Bunyi; Sebenaranya pengajaran bahasa Arab di asia tenggara umumnya dan khususnya di Indonesia, sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Akan tetapi aspek tata bunyi sebagai dasar untuk mencapai kemahiran menyimak dan berbicara masih kurang diperhatikan. Hal ini menurut Chotib,
[19]disebabkan oleh karena tujuan pembelajaran bahasa Arab hanya diarahkan untuk menguasai bahasa tulisan dalam rangka memahami bahasa kitab-kitab berbahasa Arab saja, kemudian pengertian hakekat bahasa lebih banyak didasarkan atas dasar metode gramatika-terjemah, yaitu suatu metode mengajar yang banyak menekankan kegiatan belajar pada penghafalan kaidah-kaidah tata bahasa dan penerjemahan kata perkata. Dengan sendirinya, gambaran dan pengertian bahasa atas dasar metode ini tidak lengkap dan utuh, karena tidak mengandung tekanan bahwa bahasa itu pada dasarnya adalah ujaran.
Badri mengungkapkan bahwa mengajarkan berbicara lebih penting daripada mengajarkan menulis, karena berbicaralah yang benar-benar mencerminkan bahasa, sebab ia menonjolkan aspek-aspek bunyi dan menjelsakn cara pengucapan yang benar dengan segala aspeknya yang kurang diperhatikan oleh kemahiran menulis. Di samping itu, berbicara lebih dahulu dari pada menulis, dan mempelajarinya sejalan dengan tabiat mempelajari bahasa. Anak kecil baru belajar menulis setelah lewat beberap tahun khususnya mmpelajari bahasa dengan mendengar dan bebicara.
[20]
Terkait dengan tata bunyi, ada beberapa problem tata bunyi yang perlu menjadi perhatian para pembelajar non Arab salah satunya fonem Arab yang tidak ada padanannya di bahasa Indonesia, melayu maupun Brunei misalnya, ث ح خ ذ ص ض ط ظ ع غ ق , seorang pelajar Indonesia umpamanya, akan merasa kesulitan dalam mengucapkan fonem-fonem tersebut, sehingga apabila ada kata Arab yang mengandung fonem-fonem tersebut masuk ke bahasa Indonesai, maka fonem-fonem itu akan berubah menjadi fonem lain. zha’ atau dhad dalam bahasa Arab akan berubah menjadi Lam dalam bahasa Indonesia contohnya zhahir – lahir, madharat –melarat, zhalim – lalim. Demikian juga qaf berubah menjadi kaf seperti Waqt-waktu, qadr-kadar, qalb-kalbu dan sebagainya. Di samping itu, beberapa fonem Indonesia tidak ada padanannya dalam bahasa Arab seperti /p/, /g/ dan /ng/, sehingga fonem /p/ diucapkan orang Arab dengan ba’ seperti kata Jepang menjadi اليابان , Spanyol menjadi اسبانيا , fonem /g/ diucapkan menjadi ghain atau jim, seperti kata Bogor menjadi بوجور , kata Mongol menjadi مغول , fonem /ng/ diucapkan menjadi nun atau nun dan jim atau nun dan ghain, seperti kata Inggris menjadi انجليز , kata Bandung menjadi باندونج.
[21]
Kedua, masalah Kosakata; Kosakata yang banyak diadopsi oleh bahasa Indonesia menjadi nilai tambah bagi orang Indonesia mempelajari bahasa Arab dengan mudah, karena makin banyak kosakata Arab yang digunakan dalam bahasa nasional Indonesia, makin mudah pula orang Indonesia membina kosakata, memberi pengertian dan melekatkannya dalam ingatan. Namun demikian, perpindahan kata dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab dapat menimbulkan berbagai persoalan, antara lain: 1. Pergeseran arti, seperti kata masyarakat yang berasal dari kata مشاركة, dalam bahasa Arab arti kata masyarakat ialah keikutsertaaan, partisispasi atau kebersamaan. Sementara dalam bahasa Indonesia artinya berubah menjadi masyarakat yang dalam bahasa Arab dikatakan مجتمع , demikian pula dengan kata dewan yang berasal dari kata ديوان yang berarti kantor dan kata rakyat yang berasal dari kata رعية yang berarti gembalaan. 2. Lafaznya berubah dari bunyi aslinya, seperti berkat dari kata بركة , kata kabar dari kata خبر, kata mungkin dari kata ممكن dan kata mufakat berasal dari kat. موافقة 3. Lafaznya tetap, tetapi artinya berubah, seperti kata كلمة yang berarti susunan kata-kata yang bisa memberikan pengertian, berasal dari bahasa Arab كلمات yang berarti kata-kata.
[22]
Ketiga, masalah Tata kalimat; Dalam membaca teks bahasa Arab, pembelajar harus memahami artinya terlebih dahulu. Dengan begitu pembelajar akan bisa membacanya dengan benar. Hal ini tidak lepas dari pengetahuan tentang ilmu nahwu dalam bahasa Arab yakni untuk memberikan pemahaman bagaimana cara membaca yang benar sesuai kaidah-kaidah bahasa Arab yang berlaku. Sebenarnya ilmu nahwu tidak hanya berkaitan dengan i`rab dan binâ’, melainkan juga penyusunan kalimat, sehingga kaidah-kaidahnya mencakup hal-hal selain i`rab dan binâ’ seperti al-muthâbaqah (kesesuaian) dan al- al-mauqi`iyyah (tata urut kata). Al-muthâbaqah (kesesuaian) yakni seperti kesesuaian mubtada’ dan khabar, sifat dan mausûf, persesuaian dari segi jenis kelamin yakni mudzakar dan muannats, segi jumlah yakni mufrad, mutsanna dan jama` dan segi ma`rifat dan nakirah. Contoh:
1) Mubtada’ dan Khabar
التلميذ مجتهد - التلميذة مجتهدة - التلميذان مجتهدان - التلاميذ مجتهدون
2) Shifah dan Maushûf
عندي بيت جديد – عندي سيارة جديدة – اشتريت كتبا قيمة – قرأت الكتب القيمة
Sedangkan al-mauqi’iyyah seperti fi’il harus terletak di depan atau mendahului fâ’il dan khabar haruslah terletak sesudah mubtada’ kecuali apabila khabar itu zharaf atau jar majrûr, maka boleh atau wajib mendahului mubtada’.
[23] Jadi, tata kalimat merupakan sesuatu yang tidak mudah dipahami oleh pembelajar non Arab. Aturan gramatika bahasa Arab sangat komplek, penuh dengan kandungan filosofis yang memerlukan perhatian yang mendalam dalam setiap struktur bahasanya.
Keempat, masalah Tulisan; Tulisan Arab yang berbeda sama sekali dengan tulisan latin menjadi kendala tersendiri bagi pembelajar bahasa Arab non Arab. Tulisan Latin dimulai dari kanan ke kiri, sedangkan tulisan Arab dimulai dari kiri ke kanan. Huruf Latin hanya memiliki dua bentuk, yaitu huruf kapital dan huruf kecil, maka huruf Arab mempunyai berbagai bentuk, yaitu bentuk sendiri (ﻉ), bentuk awal (ﻋ), bentuk tengah(ﻌ), bentuk akhir(ﻊ).
[24] Dengan sejumlah perbedaan tulisan yang ada antara bahasa Arab dengan bahasa Latin ini maka para pembelajar non Arab tidak akan bisa dengan mudah menulis huruf-huruf Arab apalagi menuangkannya dalam karangan yang panjang dan memiliki nilai keindahan kecuali para pembelajar telah melalui proses belajar yang lama dan teratur.
Di samping persoalan linguistik yang yang dihadapi oleh pembelajar non Arab, persoalan non linguistik juga menjadi kendala keberhasilan pembelajaran yakni kondisi sosio-kultural bangsa Arab dengan non Arab (Indonesia). Problem yang mungkin muncul ialah bahwa ungkapan-ungkapan, istilah-istilah dan nama-nama benda yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia tidak mudah dan tidak cepat dipahami oleh pembelajar Indonesia yang sama sekali belum mengenal sosial dan budaya bangsa Arab. Contoh ungkapan “بلغ السيل الزبا” /balaga al-sail al-zuba, maknanya adalah “nasi telah menjadi bubur”, bukan “air bah telah mencapai tempat tinggi”. Selain itu, peribahasa “قبل الرماء تملأ الكنائن” /qabla al-rimâ’ tumla’u al-kanâin (sebelum memanah, penuhi dulu tempat anak panahmu), di Indonesia, pribahasa ini sama maknanya atau diartikan dengan pribahasa “sedia payung sebelum hujan”. Latar belakang sosial budaya orang Arab dahulu adalah sering mengadakan perang, maka mereka mengatakan pribahasa seperti itu. Sedangkan bangsa kita sering mengalami musim hujan, maka kita menggunakan pribahasa itu.
[25] Jadi, pengetahuan tentang konteks sosio-kultural pemilik bahasa yang dipelajari sangat penting, karena dengan pengetahuan tersebut diharapkan dapat lebih cepat memahami pengertian dari ungkapan-ungkapan, istilah-istilah dan benda-benda yang khas bagi bahasa Arab serta mampu menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut pada situasi dan waktu yang tepat.
Selain harus memperhatikan faktor linguistik dan non linguistik tersebut di atas, faktor penggunaan bahan ajar dalam pembelajaran juga menjadi sesuatu yang urgen, karena peranannya di samping guru hingga saat ini, masih menjadi instrumen yang cukup menentukan keberhasilan pembelajaran. Bahan ajar-bahan ajar yang banyak digunakan di kalangan non Arab terutama di Indonesia antara lain ditulis oleh penulis Indonesia sendiri, maupun buku ajar-buku ajar yang ditulis oleh orang Arab.
Sejumlah bahan ajar yang ditulis oleh para pakar bahasa Arab Indonesia antara lain: 1) Durûs al-Lughah al-‘Arabiyyah, Karya Mahmud Yunus, terbitan Hidakarya Jakarta, cet. 28 tahun 1980, 2) Al-‘Arabiyyah bi al-Namâzij karya A.R. Partosentono, dkk. terbitan Bulan Bintang Jakarta, cet. I tahun 1976 dan cet. terbaru tahun 2007. 3) al-‘Arabiyyah Li Tullâb al-Jâmi‘ah karya Chatibul Umam dkk. terbitan Darul Ulum Press Jakarta, cet. I 2003 dan cet. Terbaru 2004. 4) Buku Pelajaran bahasa Arab MA karya Aziz Fakhrurrozi dkk, terbitan Departemen Agama Jakarta, tahun 1999. 5) Pelajaran Bahasa Arab untuk Madrasah Aliyah, karya HD. Hidayat, terbitan Toha Putra Semarang, mulai 1984 hingga cet. terakhir 2007 di mana cetakan 2007 dilengkapi dengan latihan menyimak. 6) Dars al-Lughah al-‘Arabiyyah, untuk MA (Juara I Lomba Buku Ajar Guru MA Tingkat Nasional) karya Zainuri Siroj, terbitan Aneka Ilmu Semarang, tahun 2006, dan masih banyak lagi buku ajar bahasa Arab yang lain.
Banyaknya buku ajar yang muncul dan ditulis oleh para pakar bahasa Arab di Indonesia, menunjukkan bahwa motivasi pembelajaran bahasa Arab bagi masyarakat Indonesia cukup tinggi. Keberadaan sejumlah buku ajar ini, diharapkan akan menjadi upaya untuk mengajarkan bahasa Arab dengan pendekatan yang lebih mengakar dengan budaya dan lingkungan kehidupan pembelajar. Namun yang terjadi berbeda dengan harapan tersebut, sebagian besar buku ajar yang penulis sebutkan di atas, masih mengadopsi pendekatan struktural yang mengarahkan pembelajar pada penguasaan keterampilan membaca dan menulis saja, sehingga keterampilan menyimak dan berbicara menjadi kurang diperhatikan. Akibat dari kondisi ini, sering ditemukan seorang pembelajar yang pandai membaca kitab-kitab klasik atau nash-nash berbahasa Arab dengan penjelasan kandungan gramatikalnya yang mendalam, namun pembelajar tersebut kurang mampu menjelaskan apa yang dibacanya dengan menggunakan bahasa Arab atau berkomunikasi bahasa Arab secara umum. Hal ini menurut penulis bisa dimaklumi karena penggunaan buku ajar yang masih berorientasi struktural tersebut.
Patut disyukuri bahwa adanya perhatian pemerintah Indonesia sendiri terhadap pengembangan bahasa Arab terlihat pada penerbitan sejumlah buku ajar tersebut dan pemberlakuan mata pelajaran bahasa Arab di madrasah-madrasah baik dari tingkat MI, MTs maupun MA sebagai mata pelajaran wajib di semua jurusan. Di samping itu juga, bahasa Arab menjadi bahasa asing pada jurusan bahasa yang diajarkan pada sekolah-sekolah umum terutama di tingkat SMA.
Bahan ajar-bahan ajar yang masuk dan dibelajarkan di Indonesia yang ditulis langsung oleh orang Arab sendiri, antara lain: (1) Al-‘Arabiyyah li al-Nâsyi’în (1983) ditulis oleh Muhammad Ismâ‘îl Shînî dan diterbitkan atas kerja sama Menteri Pendidikan Kerajaan Arab Saudi dengan Universitas Riyâdh, konon buku ini telah digunakan secara luas di Indonesia terutama di Pondok-pondok pesantren hingga di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam bahkan juga di lembaga-lembaga kursus hingga saat ini; (2) Linguaphone (1991) oleh Fuad H. Megally dan diterbitkan oleh Linguaphone Institute Limited London; (3) Al-‘Arabiyyah Bain Yadaik (2003) oleh Abd al-Rahman ibn Ibrâhîm al-Fauzan dkk. yang diterbitkan oleh Mu’assasat al-Waqaf al-Islâmî Riyâdh; (4) Silsilah Al-‘Arabiyyah Lighair al-Nâthiqîn biha, disunting oleh ‘Abd Allah ibn Hâmid al-Hâmid dan Team, diterbitkan Jâmi‘ah al-Imam Muhamad ibn al-Su’ûd al-Islâmiyyah Riyâdh tahun 1414 H/1994 M, sementara untuk cetakan pertama Indonesia tahun 1422/2000 oleh Lembaga Dakwah dan Ta‘lim Jakarta. Buku ini terdiri dari empat mustawa (tingkatan) yaitu mustawa awwal 6 jilid, mustawa tsâni 10 jilid, mustawa tsâlits 13 jilid, dan mustawa râbi‘ 15 jilid; (5) Tareq
[26] bahan ajar yang terbit tahun 2003, disunting oleh Bahige Mulla Huech and Team, diterbitkan oleh Didaco. S.A. Spanyol kemudian didistribusikan oleh pihak Râbithah al-‘Âlam al-Islâmî. Bahan ajar ini telah didistribusikan ke beberapa negara yakni tidak kurang dari 10 negara tujuan antara lain Spanyol (sebagai penerbit), Turki, Malaysia, Rusia, Indonesia, Prancis, Inggris, Jerman, Portugis, dan Italia. Tareq telah diterjemahkan ke dalam bahasa negara-negara tersebut termasuk ke bahasa Indonesia.Selain bahan ajar bahasa Arab di atas, masih banyak lagi bahan ajar bahasa Arab yang lain yang masuk dan tersebar di Indonesia, namun paling tidak bahan ajar-bahan ajar yang penulis sebutkan di atas, merupakan bahan ajar yang banyak digunakan baik di sejumlah pondok pesantren dan perguruan tinggi di Indonesia. Dalam tesis ini, bahan ajar Tareq dipilih sebagai obyek kajian penelitian karena beberapa alasan antara lain bahan ajar ini tergolong baru dan belum begitu dikenal oleh masyarakat pembelajar bahasa Arab; bahan ajar ini cukup modern karena memiliki perangkat ajar multimedia (audiovisual); menarik dari sisi tampilan fisik; memiliki materi dan metode pembelajaran yang mengarah kepada kemampuan komunikatif pembelajar; dan pengenalan budaya Arab dan Islam lebih tampak pada sebagian besar materi-materi ajarnya; metodologi pembelajaran yang ditawarkan cukup progresif karena bisa otodidak dan lain sebagainya.


[1] ‘Alî ‘Abd al-Walid Wâhid Wâfî, Ilm al-Lughah, (Kairo: Maktabah Nahdhah, 1962), h. 185
[2] Yûnus ‘Alî al-Muhdor dan Bey Arifin, Sejarah Kesusasteraan Arab, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), h. 12
[3] Abdul Mun‘im, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004), h. 23
[4] Team Dirjen Bimas Islam, Pedoman Pengajaran Bahasa Arab pada Perguruan Tinggi Agama/IAIN, (Jakarta: Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama Departemen Agama, 1974), h. 49.
[5] Clive Holes, Modern Arabic: Structure, Function and Varieties, (London: Longman Group Limited, 1995), h. 4. Lihat juga Rusydî Ahmad Thu‘aimah dalam Ta‘lîm al-Lughah Lighair al-Nâthiqîna biha (Rabât: ISESCO, 1989), h. 42. Diungkapkan bahwa bahasa Arab terbagi menjadi dua varietas yaitu fushha dan ‘amiyah; fushha dibagi dua yakni fushha al-turâts (bahasa arab resmi yang digunakan oleh sejumlah kitab-kitab klasik) dan al- fushha al-mu‘âshirah (bahasa Arab resmi modern yang biasa digunakan dalam bahasa-bahasa surat kabar harian, tulisan-tulisan dan surat-surat keputusan serta khutbah-khutbah, periklanan, konferensi-konferensi internasional dan lain sebagainya).
[6]Clive Holes, Modern Arabic: Structure, Function and Varieties, h. 1
[7] Muhammad Alî al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Riyâdh: al-Mamlakah al-Arabiyyah al-Su’ûdiyyah, 1989), cet. III, h. 19-20
[8] Lihat Ahmad Ibn Fâris, al-Shâhibî fi Fiqh al-Lughah wa Sunan al-Arab fi Kalâmiha, (Kairo, 1910), h. 13
[9] ‘Abd al-Rahman Ibn Khaldûn, Muqaddimah, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turats al-Arabî, tt), h. 546
[10] ‘Abd al-Rahman Jalâludin Al-Suyûthî, al-Muzhir fi ‘Ulûm al-Lughah wa Anwâiha, (Kairo: al-Bab al-Halabî, tt), h. 123
[11] Lihat Nâshir ‘Abd Allah al-Ghâlî dan ‘Abd al-Hamîd ‘Abd Allah, Usus I‘dâd al-Kutub al-Ta‘lîmiyyah Lighair al-Nâthiqîn bi al-‘Arabiyyah. (Riyâdh: Dâr al-Ghâlî, tt), h. 78-79
[12] Lihat ‘Alî ‘Abd al-Wâhid Wafî, Fiqh al-Lughah. (Kairo: Dâr al-Nahdhah, tt), h. 168-169
[13] Rusydi Ahmad Thu‘aimah, Ta‘lîm al-Lughah, h. 36
[14] Muhammad Daidawi, ‘IIm al-Tarjamah baina al-Nazhariyah wa al-Tathbîq, (Tunis: Dâr al-Ma’rif, 1992), h. 245-246
[15] Rusydi Ahmad Thu‘aimah, Ta‘lîm al-Lughah, h. 36
[16] Fathî ‘Alî Yûnus dan Muhammad ‘Abd al-Rauf al-Syeikh, al-Marja` fi Ta`lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah li al-Ajânib, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), h. 21-22
[17] Syuhadak, Pembelajaran Bahasa Arab bagi Muslim Indonesia, (naskah pidato ilmiah pada Rapat Terbuka Senat UIN Malang, 2005-2006), (Malang: UIN Malang, 2006), h. 19
[18] Rusydi Ahmad Thu‘aimah, Ta‘lîm al-Lughah, h. 31-32
[19] Ahmad Chotib, dkk. Pedoman Pengajaran Bahasa Arab untuk Perguruan TinggiAgama Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1976), h. 79.
[20] Kamâl Ibrâhîm Badrî, al-Awlawiyat fi Manhaj Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah fi Madâris Indonesia, (Seminar Internasional Pengembangan Pengajajaran Bahasa Arab di Indonesia 1-3 September di Jakarta), h. 6
[21] Chatibul Umam, ”Problematika Pengajaran Bahasa Arab”, Jurnal al-Turats, No. 8, 1999, h. 6-7
[22] Chatibul Umam, ”Problematika Pengajaran Bahasa Arab”, h. 8
[23] Ahmad Chotib, dkk. Pedoman Pengajaran Bahasa Arab untuk Perguruan Tinggi Agama Islam, h. 82-83
[24] Lihat Bahige Mulla Huech and Team, Tareq: Pendahuluan, Kaligrafi dan Tata Bahasa, (Spanyol: Didaco. S.A, 2003), h. iv
[25] Chatibul Umam, ”Problematika Pengajaran Bahasa Arab”, h. 11-12
[26] Diakses dari http://www.halalco.com/. Pada tanggal 15 Januari 2008 Jam 14.30 WIB. Lihat juga Bahige Mulla Huech and Team, Tareq: Pendahuluan, Tata Bahasa dan Kaligrafi, (Spanyol: Didaco. S.A, 2003), h. 3

شعارنا

Selamat Tahun Baru Hijriyyah 1430 H
Semoga amal kebajikan kita bertambah meningkat
كل عام وأنتم بخير

Tuesday, December 16, 2008

PERUBAHAN MAKNA

Oleh: Muh. Ii Wahyuddin, M.A & Tardi, M.A
PENDAHULUAN
Perubahan bahasa menyangkut soal bahasa sebagai kode, di mana sifatnya yang dinamis, dan sebagai akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu bisa berubah. Bahasa yang telah berlangsung relatif lama tidak dapat diamati dan diobservasi perubahannya oleh seseorang dalam waktu yang relatif terbatas. Namun yang dapat diamati oleh seseorang adalah bukti perubahannya. Inipun terbatas pada bahasa-bahasa yang sudah mempunyai tradisi tulis-menulis dan mempunyai dokumen tertulis dari masa-masa lampau. Bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Jawa termasuk bahasa yang dapat diikuti perkembangannya sejak awal, sebab mempunyai dokumen-dokumen tertulis.
Perubahan bahasa lazim diartikan sebagai adanya perubahan kaidah, baik itu kaidahnya direvisi, kaidahnya menghilang, atau munculnya kaidah baru; dan semuanya itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik maupun leksikon. Pada bahasa-bahasa yang sudah mempunyai sejarah panjang tentu perubahan-perubahan itu sudah terjadi berangsur dan bertahap.[1]
Perubahan bahasa yang merupakan pembahasan dalam makalah ini adalah perubahan dalam bidang semantik. Perubahan semantik secara umum bisa terjadi perubahan pada makna butir-butir leksikal yang mungkin berubah total, meluas, atau juga menyempit. Oleh karena itu, untuk mengetahui perubahan makna itu lebih jauh, maka terlebih dahulu kita mengetahui faktor-faktor perubahan makna dan macam-macamnya.
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor Perubahan makna
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa yang relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah; tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Ada kemungkinan ini bukan berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja, yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna suatu kata atau ujaran yakni faktor kebahasaan dan faktor sosial. Faktor penyebab terjadinya perubahan makna kata atau ujaran yang bersifat kebahasaan adalah faktor yang ada dalam atau terkait langsung dengan kata atau ujaran tersebut sedangkan faktor sosial berkaitan dengan masyarakat penutur, perkembangan sosial budaya, kondisi psikologis dan lain-lain.
Secara umum penjelasan kedua faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :[2]
1. Faktor kebahasaan, di antaranya :
a. Frekuensi penggunaan kata atau ujaran. Tingginya frekuensi penggunaan kata atau ujaran dapat menimbulkan perubahan maknanya, baik meluas atau menyempit. Tiga kemungkinan perubahan makna kata atau ujaran akibat tingginya frekuensi penggunaan, yaitu :
1) Penyempitan makna umum seperti kata المؤمن , المسلم, الصلاة :
2) Perluasan makna khusus, seperti kata : الورد, الرائد, النجعة, المنيحة
3) Perubahan makna kiasan menjadi makna yang sebenarnya. Seperti kata: المجد,الوغي, العقيقة
4) Penggunaan kata menjadi nama dan atau istilah-istilah dalam disiplin ilmu. Seperti istilah Nahwu المبتداء الخبر, dan istilah Psikologi seperti الإدراك, الوجدان .
b. Perkembangan bunyi kata. Sebuah kata atau ujaran yang mengalami perkembangan yang cukup lama sehingga salah satu hurufnya mengalami perubahan bunyi. Lambat laun maknanya mengalami perubahan pula. Contoh kata: كماش, yang mengalami perubahan pada kata tersebut adalah bunyi huruf ك menjadi huruf ق, sehingga menjadi قماش.
c. Pengaruh gramatikal. Contoh kata الفردوس , yang berarti surga. Kata ini berasal dari bahasa Greek (Yunani) ’Paradeisos’ yang mengikuti wazan فعاليل yang berarti ‘kebun’.
2. Faktor Non Bahasa, di antaranya:
a. Perbedaan strata social. Contoh kata : حقل . Kata ini mempunyai dua makna, yaitu tanah dan lapangan ilmu. Kata حقل yang berarti tanah itu menurut pemahaman kelompok petani, sedangkan حقل yang berarti lapangan ilmu adalah menurut para peneliti atau ilmuwan. Contoh lainnya seperti ,معمل عملية
b. Perubahan social dan budaya. Contoh: القطار yang mempunyai makna asalnya iring-iringan onta. Disebabkan oleh kemajuan teknologi transportasi, maka kata tersebut beralih makna menjadi kereta. Contoh lainnya seperti الريشة, البريد,الخليفة
c. Aspek psikologis. Contoh: بيت الراحة mengandung makna WC atau toilet, أبو البيضاء dipakai untuk memanggil orang yang berkulit putih.
Menurut Dr. Ahmad Mukhtar Umar ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan makna suatu kata atau ujaran, di antaranya:[3]
1. Adanya kebutuhan
Makna yang terkandung dalam suatu kata atau ujaran sering mengalami perubahan baik meluas, menyempit ataupun berubah total. Salah satu sebabnya karena kebutuhan manusia dan masyarakat untuk menyatakan suatu symbol yang tidak ditemukan kata atau ujaran khusus sebelumnya yang merujuk pada symbol tersebut.
Sekelompok masyarakat yang menggunakan bahasanya sering kali mendapatkan kekurangan kosa kata, ketika mereka mendapatkan ide-ide atau sesuatu yang baru. Sehingga untuk mengungkapkannya itu, mereka mengambil kata-kata dari luar bahasanya (kata pinjaman/ serapan) atau mereka menggunakan bahasanya sendiri dengan menentukan kata baru.[4] Pada era moderen banyak ditemukan kata-kata atau ujaran lama tetapi mengalami perubahan makna yang disebabkan oleh munculnya kebutuhan-kebutuhan. Contohnya: الهاتف , المذياع , القطار , التسجيل , الثلاجة , الدبابة
2. Perkembangan social dan budaya
Perkembangan social dan budaya yang berlangsung di lingkungan masyarakat juga merupakan salah satu sebab terjadinya perubahan makna. Sebenarnya faktor kedua ini sudah termasuk ke dalam pembahasan yang pertama, tetapi disebabkan faktor ini sangat penting para linguis memisahkannya dari faktor di atas.[5] Perubahan makna yang tampak disebabkan oleh faktor social dan budaya terbagi ke dalam tiga bentuk:
bentuk peralihan makna dari makna konkrit kepada makna abstrak. Contohnya:
bentuk penggunaan kata-kata tertentu yang sudah merupakan konvensi sekelompok masyarakat yang berbeda budaya dengan makna yang dapat dimengerti berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya serta profesinya. Contohnya: الحقل, المعمل, العملية
Bentuk penggunaan kata-kata lama dan diucapkannya pada makna yang baru, karena ada kesesuaian makna, walaupun bentuk (simbol) itu berbeda. Contohnya: السفينة (ship), البيت (house), الكتاب
3. Perasaan-perasaan emosional dan jiwa
Bahasa-bahasa diungkapkan dan digunakan untuk menyatakan kata-kata yang jelas. Kata-kata itu bilamana diucapkan atau ditulis dapat mengundang pemahaman negatif, maka kata-kata itu disebut tabu. Kata-kata tabu tidak menyebabkan terjadinya perubahan makna. Namun akhir-akhir ini, muncul kata-kata baru sebagai pengganti kata-kata lama yang dianggap tabu, tetapi masih mengandung makna lama (tabu).
Kata-kata tabu dapat muncul diakibatkan oleh faktor psikologis dan emotif. Sedangkan pengungkapan kata tersebut karena ada beberapa tujuan, yaitu : (1) tabu karena takut, (2) tabu karena kehalusan, (3) tabu karena kesopanan.[6] Contohnya: kata ’seni’ yang mempunyai dua makna, yaitu air kencing dan halus. Contoh lainnya seperti kata ’butuh’, ’tele’, ’momok’.
4. Penyimpangan kebahasaan
Penyimpangan kebahasaan bisa terjadi pada kata-kata yang mengandung makna majaz (kiasan), atau bisa terjadi karena kurang pemahaman terhadap makna yang dimaksud. Karena itu para linguis menetapkan daftar kata-kata dan maknanya serta meralatnya dengan makna yang tepat sesuai dengan komunitas bahasa dan lebih mudah diucapkan oleh mereka. Penyimpangan kebahasaan yang secara tiba-tiba biasanya terjadi di beberapa tempat di mana anak-anak (pengguna bahasa pemula) berinteraksi dengan para remaja dan orang tua. Dari lingkungan ini, muncul makna-makna kata baru.
Dr. Anis memberikan suatu gambaran tentang penyimpangan kebahasaan pada kata-kata tertentu, seperti الأرض(bumi) yang mengandung macam-macam makna, yaitu الكوكب (planet) dan الركام (kilat). الليث juga bisa mengandung makna harimau atau laba-laba. [7]
Anak-anak kecil merupakan salah satu contoh konkrit terjadinya penyimpangan kebahasaan. Mereka menamakan satu benda dengan kecenderungan pada bentuknya bukan pada fungsinya. Seperti الفأس, المطرقة, mereka mengatakannya sama dengan kata "قدوم". Kata "paint" mereka katakan sebagai pengganti nama cat semir sepatu.
5. Peralihan makna majazi
Perubahan makna dari makna hakiki atau makna asal kepada makna majazi dapat melahirkan makna baru bagi kata tersebut. Perubahan tersebut terjadi karena adanya hubungan antara makna pertama dengan makna-makna lainnya melalui hubungan makna, persamaan makna. Contohnya kata أسد makna hakikinya adalah nama binatang buas. Kata ini bisa berubah maknanya menjadi makna majazi ‘laki-laki yang berani’.
Kata yang bermakna hakiki dapat beralih menjadi makna majazi dengan menetapi 3 syarat, yaitu: [8]
1. peralihan makna itu berdasarkan ketetapan para ahli bahasa
2. adanya qarinah yang membatasi antara makna hakiki dan majazi
3. pengungkapan kata tersebut memang tidak rasional.
Dari satu kata yang beraneka bentuknya dapat mengandung bermacam-macam maknanya. Contoh: Kata الهلال . Kata tersebut dapat berubah maknanya dalam berbagai bentuknya seperti: هلال البطيخة - هلال السماء- هلال الصيد – هلال النعل – هلال الاصبع - . Demikian pula kata العين dapat berubah maknanya sesuai dengan bentukannya, seperti: عين الماء – عين المال – عين الميزان.[9]
Sesuai dengan perjalanan waktu, penggunaan kata majazi sudah mengacu pada satu kata kadang memiliki dua arti dan makna majazi kadang didasarkan pada makna hakikinya.
6. Inovasi (pembaharuan makna)
Inovasi bahasa tidak mungkin dilakukan oleh semua orang. Karena itu, ada dua kelompok yang bisa dipercaya untuk melakukan pembaharuan bahasa, terutama menyangkut makna, yaitu:[10]
a. Para pakar bahasa dan sastra. Adapun tujuan mereka melakukan pembaharuan dikarenakan untuk menjelaskan dan menguatkan makna-makna yang terkandung di dalam bahasa dan sastra yang sebelumnya makna itu masih tersembunyi.
b. Lembaga-lembaga bahasa dan keilmuan. Lembaga-lembaga ini mempunyai kepentingan untuk menggunakan istilah-istilah bahasa dan keilmuan dengan mengungkapkan kata dan memberikan maknanya yang baru supaya kata dan maknanya dipahami oleh masyarakat. Misalnya kata "root", penggunaan dan pemberian maknanya tergantung si pembicara, apakah dia seorang petani, pakar olah raga, atau pakar bahasa.
B. Macam-macam Perubahan makna
Perubahan makna pada awalnya merupakan bahan kajian para ahli retorika yaitu sejak zaman Aristo. Pada masa yang cukup lama itu, mereka hanya mampu mengidentifikasi kata-kata majaz yang disebabkan karena keindahan susunannya. Kemudian upaya tersebut diteruskan oleh para linguis dengan melakukan penelitian terhadap proses perubahan makna.
Secara garis besar, perubahan makna menurut para linguis dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek logika dan jiwa. [11] Adapun perubahan makna kata atau satuan ujaran ada beberapa macam, yaitu:
1. Perluasan Makna (Widening of Meaning / توسيع المعنى)
Yang dimaksud dengan perubahan makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna.[12] Artinya, kata tadi awalnya bermakna 'A' ; maka kemudian bermakna 'B'. Sedangkan menurut Muhammad Ali Al-Khuli perluasan makna adalah salah satu perubahan yang terjadi pada beberapa kata dalam waktu yang panjang [13]Berikut inki beberapa kata yang mengalami perluasan makna:
Baju ;Pakaian yang dikenakan dari mulai pinggang hingga bahu- Baju berikut celana, sepatu, dasi dan topi.
Saudara ; ’Seperut ’ atau ’sekandungan’; Siapa saja yang sepertalian darah
Kakak; Saudara sekandung yang lebih tua ; Siapa saja yang pantas dianggap sebagai saudara sekandung yang lebih tua
Mencetak ; Satu pekerjaan dalam bidang penerbitan buku, majalah atau koran ;Membuat, atau menghasilkan, atau memperoleh, mencari, mengumpulkan
البأس; Ketakutan dalam berperang ; Ketakutan dalam situasi apapun
الأيم ; Wanita lajang ; Termasuk juga pria lajang
الرافضة; Sekte syi’ah di Kufah ; Sekte syi’ah di mana saja
فرعون ; Raja Mesir yang arogan ; Pemimpin yang arogan
Barn ; Tempat menyimpan gandum ; Tidak sekedar tempat menyimpan gandum
Bridde; Burung kecil ; Buruing apa saja

2. Penyempitan Makna (Narrowing of Meaning / تضييق المعنى)
Perubahan makna menyempit adalah berpindahnya makna yang umum (generik) dari suatu kata menuju makna khusus atau berpindahnya suatu kata dari makna yang luas menuju makna yang sempit. Perubahan makna yang menyempit artinya, kalau tadinya sebuah kata atau satuan ujaran itu memiliki makna yang sangat umum tetapi kini maknanya menjadi khusus atau sangat khusus.[14] Dan menurut Muhammad Ali Al-Khuli, penyempitan makna berarti sebuah kata dalam kurun waktu yang panjang mengalami penyempitan makna dari makna asalnya yang luas[15] Berikut beberapa contoh kata yang mengalami penyempitan makna :

Sarjana; Orang pandai /Cendikiawan; Lulusan Perguruan Tinggi
Ahli; Anggota dalam keluarga; Orang yang pandai dalam satu cabang ilmu
Pendeta; Orang yang berilmu; Guru agama Kristen
Sabtu; Masa atau zaman ; Salah satu nama hari dalam satu minggu
الصلاة; Doa secara umum; Ibadah khusus yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam
الحج; Bermaksud terhadap sesuatu; Bermaksud mengunjungi baitul haram
المؤمن; Orang yang merasa aman dari bahaya jiwa, harta dan haraga diri ; Orang yang beriman atau membenarkan
المسلم; Berserah diri ; Tunduk terhadap perintah Allah
الورد; Mendatangkan air ; Menjadikan sesuatu sebagai wiridan

3. Perubahan Total (Pejorative Change/ انحطاط المعني )
Yang dimaksud dengan perubahan total adalah makna yang dimiliki sekarang sudah jauh berbeda dari makna aslinya.[16] Memang ada kemungkinan makna yang sekarang masih ada hubungannya dengan makna yang terdahulu.
Perubahan makna tersebut bisa terjadi makna asalnya halus atau tinggi kedudukannya kemudian beralih menjadi makna yang kasar atau rendah. Perubahan semacam ini dikenal dengan istilah Pejorative Change.[17]
Apabila perubahan itu terjadi dari makna yang rendah kedudukannya kepada makna yang halus atau tinggi, maka disebut Meliorative Change (تسامي المعني).[18] Berikut ini beberapa kata yang telah mengalami perubahan makna secara total:
Ceramah ;Cerewet , banyak cakap; Pidato di depan orang banyak
Seni ; Dihubungkan dengan air seni; Karya atau ciptaan yang bernilai halus
Pena ; bulu; Alat tulis yang menggunakan tinta
حاجب; Jabatan Perdana Menteri (di Andalus);Penjaga Pintu
وزير; Menteri (di Negara Arab); Polisi (di Spanyol)
الفردوس; Lahan subur ; Nama surga


KESIMPULAN
Salah satu aspek perubahan bahasa adalah perubahan makna. Perubahan makna ini menjadi sasaran kajian semantik historis yang merupakan perhatian para linguis. Kemudian sekitar permulaaan abad ke-19, lahirlah ilmu yang mempelajari kajian semantik historis dengan istilah Semasiology. Kajian ini pertama kali muncul di Jerman lalu dikembangkan di negara Prancis oleh para ahli sosiolinguistik termasuk di antaranya murid-murid Meillet.
Setiap bahasa akan mengalami perkembangan sesuai dengan pergantian zaman. Di antara perkembangan bahasa itu adalah perubahan makna, yaitu perubahan kata-kata atau bunyi ujaran terhadap maknanya. Atau perubahan makna yang terjadi disebabkan karena terdapat hubungan yang mendasar antara makna asalnya dengan makna yang muncul kemudian. Dan perubahan itu tidak terjadi langsung seketika, namun ada beberapa faktor yang mendorong terhadap perubahan tadi sesuai dengan perkembangan zaman.Faktor yang mempengaruhi perubahan makna secara umum ada dua, yakni faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Bentuk perubahan makan ada tiga macam yaitu ; penyempitan, perluasan dan berubah total.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer,. Drs., Linguistiik Umum, Penerbit Rieneka Cipta, Jakarta, 2003
Abdul Chaer,. Drs., Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002
Abdul Chaer, Leonie Agustina, Sosiolinguistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2004
Abdul Ghaffar Hamid Hilal,. Dr., ‘Ilm al-Dilalah al-Lughawiyyah, Kairo
Abdul Karim Mujahid,. Dr., al-Dalalah al-Lughawiyyah 'inda al-'Arab
Ahmad Mukhtar Umar,. Dr. 'Ilm al- Dalalah, Kuwait, Maktabah Dar al-'Arubah, 1982
Farid 'Iwadl Haidar, Dr., 'Ilm al-Dilalah, Kairo, Maktabah al-nahdloh al-Mishriyyah, 1999
Fatimah Djajasudarma,. T. Dr., Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna, Bandung, Refika Aditama, 1999
Fayiz al-Dabbah., Dr., 'Ilm al-Dilalah al-'Arabiy., Beirut, Dar al-Fikr, 1996
Muhammad Ali Al Khuli, A Dictionary of Theoretical Linguistics, Beirut, Librarie du Liban, 1982
[1] Abdul Chaer, Leonie Agustina, Sosiolinguistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, 136.
[2] Dr. Abdul Ghaffar Hamid Hilal, ‘Ilm al-Dilalah al-Lughawiyyah, Kairo, hal. 54
[3] Dr. Ahmad Mukhtar Umar, 'Ilm al-Dilalah, Kuwait, Maktabh Dar-al-'Arubah, 1982.
[4] Ibid., hal. 237.
[5] Ibid., hal. 238.
[6] Dr. T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna, Bandung, Refika Aditama, 1999, hal. 63.
[7] Dr. Ahmad Mukhtar Umar, op. cit., hal. 240.
[8] Dr. Abdul Ghaffar Hamid Hilal, op cit., hal. 118.
[9] Dr. Abdul Karim Mujahid, al-Dalalah al-Lughawiyyah 'inda al-'Arab. Hal. 117.
[10] Dr. Ahmad Mukhtar Umar, op. cit., hal. 242.
[11] Ibid., hal. 243.
[12] Drs. Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 141.
[13] Muhammad Ali Al-Khuli, A Dictionary of Theoretical Linguistic, Librari du Liban, Beirut, 1982hal 310
[14] Drs.Abdul Chaer, Linguistiik Umum, Penerbit Rieneka Cipta, Jakarta, 2003,hal.314
[15] Ibid ,hal 179
[16] Ibid., hal. 143.
[17] Dr. Abdul Karim Mujahid, op. cit., hal. 142.
[18] Ibid., hal. 143.

Wednesday, December 3, 2008

LAFAL DAN MAKNA MENURUT ULAMA’ BALAGHAH

Penulis: Umar Manshur, MA

A. Pendahuluan
Salah satu faktor berkembangnya bahasa arab adalah perpindahan lafal-lafalnya dari satu makna ke makna lain, karena lafal dalam bahasa arab tidak selalu menetap dalam satu makna, akan tetapi ia bergerak dan berubah dan hal ini yang membuat bahasa arab kaya dan selalu bertambah kosa katanya.
Perpindahan lafal dari satu makna ke makna yang lain adalah tuntutan keadaan dan sesuai dengan beberapa tujuan kebahasaan. Sepanjang sejarah, orang arab telah terbiasa dengan perpindahan makna seperti ini, mereka tidak hanya menggunakan kalimat dengan satu makna, akan tetapi mereka menggunakan makna-makna baru yang disesuaikan dengan kebutuhan diri dan zaman yang mereka temui dalam kehidupan mereka[1].
Bahasa terdiri dari dua unsur penting yaitu lafal dan makna. Lafal adalah wadah dari makna, karena itulah, lafal yang baik adalah lafal yang digunakan untuk makna yang sesuai dan tepat. Bahasa arab sebagai suatu bahasa juga terdiri dari lafal dan makna, dan orang arab sangatlah teliti dalam memilih lafal untuk suatu makna.

B. Pembahasan
Lafal dalam bahasa arab, menurut ulama’ balaghah sebagaimana disepakati oleh ulama ushul, jika ditinjau dari maknanya yang digunakan menjadi dua bagian yaitu; Hakikat dan Majaz. Hanya saja titik perbedaan antara ulama balaghah dan ulama ushul adalah terletak pada penggunaan majaz. Ulama balaghah mengharuskan adanya qarinah (petujuk/indikator) yang mencegah untuk dipahami sebagai makna asli, sementara ulama ushul membolehkan adanya qarinah yang tidak mencegah untuk dipahami sebagai makna asli, bahkan mereka lebih longgar dengan membolehkan majaz untuk tidak disertai oleh qarinah[2].

1. Hakikat
Hakikat menurut bahasa adalah sesuatu yang digunakan pada asal peletakannya dalam bahasa[3].
Sedangkan hakikat menurut istilah ulama’ balaghah adalah lafal yang digunakan dalam makna yang seharusnya pada istilah percakapan[4].
Penggunaan lafal dengan makna hakikat ini ada tiga macam[5]:
a. Hakikat Menurut Bahasa (حقييقة لغوية)
Hakikat secara bahasa adalah penggunaan lafal dalam makna bahasa yang seharusnya. Seperti lafal أسد yang digunakan untuk hewan buas.
b. Hakikat Menurut Kebiasaan (حقيقة عرفية)
Hakikat secara kebiasaan adalah penggunaan lafal dalam makna kebiasaan baik kebiasaan umum atau kebiasaan khusus.
Ø Contoh dalam kebiasaan umum adalah seperti penggunaan lafal دابة untuk hewan yang berkaki empat, dimana pada awalnya lafal دابة ini digunakan untuk setiap sesuatu yang melata dimuka bumi.
Ø Contoh dalam kebiasaan khusus adalah seperti penggunaan istilah dalam bidang ilmu tertentu. Seperti: فاعل , رفع , نصب , dan lain-lain dalam bidang ilmu nahwu.
c. Hakikat Menurut Syara’ (حقيقة شرعية)
Hakikat secara syara’ adalah penggunaan lafal dalam makna syara’, seperti lafal الصلاة yang digunakan untuk ucapan dan perbuatan tertentu dalam suatu ibadah.
Sebagaimana lazimnya bahasa, maka makna hakikat ini seiring perkembangan zaman akan terus berkembang, karena itulah, makna hakikat dalam perkembangannya di era modern menurut Ahmad Muhammad Qaddur disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya[6]:
a. Faktor Politik
Seperti penggunaan kata ثورة yang pada mulanya kata ini hanya bermakna perbuatan-perbuatan keji dan gerakan-gerakan tercela. Pada perkembangannya kata ثورة ini kini bermakna revolusi atau gerakan bersenjata yang dianggap baik dan terpuji.
b. Faktor Peradaban
Seperti kata جريدة yang pada mulanya kata bermakna daun dari tumbuhan atau pepohonan yang digunakan untuk menulis ayat-ayat al-Qur'an pada masa dahulu, kini pada perkembangannya kata جريدة ini surat kabar harian atau terkadang juga disebut jurnal.
c. Faktor Keilmuan
Seperti kata غواصة yang pada mulanya kata ini bermakna orang yang sering menyelam atau orang yang menyelam dilaut untuk mencari mutiara, kini pada perkembangannya kata غواصة ini bermakna kapal perang untuk perang[7].
d. Faktor Adopsi
Seperti kata الطقس yang pada mulanya kata ini bermakna undang-undang pelayanan bagi kaum Nasrani, kini pada perkembangannya kata الطقس ini bermakna keadaan cuaca.
2. Majaz
Majaz menurut ulama balaghah adalah lafal yang digunakan bukan pada makna sebenarnya karena adanya hubungan (’alaqah) disertai petunjuk (qarinah) yang menghalangi dari pemahaman makna sebenarnya tersebut[8].
Majaz jika ditinjau dari sisi hubungan (’alaqah)-nya ada dua macam; yaitu jika hubungan (’alaqah) antara makna majazi dan makna hakiki adalah hubungan kesamaan (musyabahah) maka disebut Isti’arah, akan tetapi jika hubungan antara makna majazi dengan makna hakiki itu adalah hubungan selain kesamaan (ghair musyabahah) maka disebut Majaz Mursal[9].
a. Isti’arah (الاستعارة)
Secara bahasa Isti’arah terambil dari kata ”al-’ariyah” (pinjaman) yang mana Isti’arah adalah berarti meminta pinjaman. Sedangkan menurut istilah adalah: ”Menggunakan suatu lafal untuk selain arti asli yang ditetapkan karena adanya hubungan kesamaan antara arti yang dipindahkan dengan arti yang dipakai dengan disertai petunjuk yang memalingkan untuk menghendaki makna aslinya”[10].
Jika dilihat dari penyebutan dua ujung tasybihnya, maka Isti’arah terbagi menjadi Tashrihiyah dan Makniyah[11].
Isti’arah dinamakan Tashrihiyah apabila kalimat yang didalamnya digunakan lafal musyabah bih untuk musyabbah. Seperti firman Allah:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
Pada ayat ini terdapat lafal الظلمات yang digunakan untuk makna الضلال dan lafal النور yang digunakan untuk makna الهداية dan الإيمان . Ketika yang disebut adalah musyabbah bih yaitu lafal الظلمات dan النور maka disebut Isti’arah Tashrihiyah.
Isti’arah dinamakan Makniyah apabila kalimat yang didalamnya musyabbah bih-nya dibuang dan sebagai isyarat ditetapkan salah satu sifat khasnya. Seperti firman Allah:
وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا
Pada ayat ini kepala diserupakan dengan bahan bakar, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan diisyaratkan oleh salah satu sifatnya, yaitu isyta’ala (menyala). Ketika dalam keadaan seperti ini maka Isti’arah disebut dengan Isti’arah Makniyah.
Jika dilihat dari lafal yang dijadikan sebagai Isti’arah maka Isti’arah terbagi menjadi Ashliyah dan Taba’iyah[12].
Isti’arah dinamakan Ashliyah apabila lafal yang dijadikan sebagai Isti’arah berupa isim jamid. Seperti firman Allah:
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنْزَلْنَا
Pada ayat ini, yang digunakan sebagai istia’rah adalah lafal النور yang mana lafal ini adalah isim jamid, maka isti’rah seperti ini dinamakan isti’rah Ashliyah.
Isti’arah dinamakan Taba’iyah apabila lafal yang digunakan sebagai Isti’arah berupa fi’il atau isim musytaq. Seperti firman Allah:
وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ أَخَذَ الْأَلْوَاحَ
Pada ayat ini, yang digunakan sebagai Isti’arah adalah lafal سكتyang mana lafal ini adalah fi’il, maka Isti’arah yang seperti ini dinamakan Isti’arah Taba’iyah.
b. Majaz Mursal (المجاز المرسل)
Majaz Mursal adalah Menggunakan suatu lafal untuk selain maknanya yang asli karena adanya hubungan (’alaqah) yang selain keserupaan serta ada qarinah yang menghalangi pemahaman dengan makna yang asli[13].
Majaz Mursal mempunyai hubungan atau ’alaqah yang cukup banyak, diantaranya adalah[14]:
1. Al-Sababiyyah (السببية)
Yaitu adanya makna yang dipindahkan itu merupakan sebab dan memberikan pengaruh pada yang lainnya. Contohnya adalah: رعت الماشية الغيث (Binatang itu makan tumbuh-tumbuhan). Lafal الغيث diberi makna النبت (tumbuh-tumbuhan), sebab lafal الغيث yang artinya hujan merupakan sebab bagi tumbuh-tumbuhan itu.
2. Al-Musabbabiyyah (المسببية)
Yaitu adanya makna yang dipidahkan merupakan hal yang disebabkan dan akibat bagi sesuatu yang lain. Contohnya adalah firman Allah: وينزل لكم من السماء رزقا (Allah menurunkan hujan untukmu dari langit). Lafal رزق diartikan hujan, karena hujanlah yang menyebabkan rizki.
3. Al-Kulliyyah (الكلية)
Yaitu adanya makna yang dipindahkan menyimpan hal yang dimaksudkan dan yang lainnya. Hal itu dengan cara menyebutkan secara keseluruhan akan tetapi yang dimaksudkan adalah sebagiannya. Contohnya adalah: يجعلون أصابعهم في أذانهم (mereka menyumbat telinga mereka dengan ujung jari-jari mereka). Lafal اصابع diatas diartikan أنامل (ujung jari), karena tidak mungkin mereka memasukkan jari-jari mereka semua kedalam telinga.
4. Al-Juz’iyyah (الجزئية)
Yaitu adanya lafal yang disebutkan menyimpan makna sesuatu yang lain. Hal itu dengan cara menyebutkan sebagian akan tetapi yang dimaksudkan adalah keseluruhan. Contohnya adalah firman Allah: كل من عليها فان ويبقى وجه ربك ذو الجلال والاكرام (tiap-tiap yang ada di bumi akan binasaakan tetapi yang kekal adalah dzat Tuhanmu yang mempunyia kebesaran dan kemuliaan). Lafal وجه diartikan “dzat” disini, karena wajah merupakan bagian dari dzat.
5. Al-Lazimiyyah (اللازمية)
Yaitu sesuatu pasti terwujud dikala sesuatu yang lain terwujud. Contohnya adalah: طلع الضوء (matahari telah terbit). Lafal الضوء diartikan Matahari. Sebab cahaya pasti akan terwujud ketika matahari terbit.
6. Al-Malzumiyyah (الملزومية)
Yaitu adanya wujud sesuatu yang mewajibkan wujud sesuatu yang lain. Contohnya adalah: ملأت الشمس المكان (cahaya memenuhi tempat). Lafal الشمس diartikan cahaya, sebab ketika matahari ada pasti cahaya akan ada.
7. Al-Aliyah (الآلية)
Yaitu adanya sesuatu merupakan perantara untuk menyampaikan pengaruh sesuatu kepada yang lain, hal itu dengan cara menyebutkan alat, tetapi yang dimaksudkan adalah pengaruh yang yang dihasilkannya. Contohnya adalah firman Allah: واجعل لي لسان صدق في الآخرين (dan jadikanlah buatku lidah yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian). Lafal لسان diartikan ذكر حسن (buah tutur yang baik) sebab lisan adalah alat dalam buah tutur yang baik.
8. Al-’Umum (العموم)
Yaitu adanya suatu lafal yang menunjukkan kepada yang umum (banyak) tetapi yang dimaksudkan adalah satu. Contohnya adalah seperti firman Allah: أم يحسدون الناس (“apakah mereka dengki kepada orang-orang (Muhammad)”). Kata الناس pada ayat ini diartikan “Nabi Muhammad”. Oleh karenanya terlihat disini menyebutkan yang umum tetapi menghendaki arti khusus.
9. Al-Khusus (الخصوص)
Yaitu adanya lafal yang memang khusus untuk sesuatu yang satu, seperti mengucapkan nama seseorang untuk menghendaki suatu suku. Contohnya adalah: ربيعة dan قريش .
10. I’tibar Ma Kana (اعتبار ما كان)
Yaitu memandang kepada masa yang telah lewat. Contohnya adalah firman Allah: وآتوا اليتامى أموالهم (dan berikalah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka). Lafal diartikan anak-anak yatim yang kemudian memasuki usia dewasa. Inilah yang dimaksud I’tibar Ma Kana yaitu menganggap yang ada, akan tetapi menghendaki apa yang akan terjadi.
11. I’tibar Ma Yakun (اعتبار ما يكون)
Yaitu melihat apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang, hal itu dengan cara menyebut sesuatu dengan nama sesuatu yang akan terjadi setelah ada masa proses. Contohnya adalah:طحنت خبزا (Aku menggiling roti) pada kalimat tersebut lafal roti yng digunakan, akan tetapi maksudnya adalah biji gandum. Inilah majaz mursal yang ’alaqah-nya adalah menganggap apa yang bakal terjadi.
12. Haliyyah (الحالية)
Yaitu adanya sesuatu yang menempati pada lainnya, hal itu dengan cara meyebut keadaan tetapi yang dimaksud adalah tempat dimana keadaan itu berada.Contohnya adalah firman Allah: ففي رحمة الله هم فيها خالدون (maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga) mereka kekal berada didalamnya). Dalam ayat ini yang dimaksud rahmah adalah surga yang mana rahmah itu berada didalamnya.
13. Al-Mahalliyyah (المحلية)
Yaitu adanya sesuatu menjadi tempat bagi sesuatu yang lain, hal ini dengan cara menyebutkan tempat akan tetapi yang dimaksud adalah sesuatu yang berada di tempat tersebut. Contohnya adalah: قرر المجلس (majlis telah menetapkan). Dalam kalimat ini disebutkan lafal majlis akan tetapi yang dimaksud adalah orang-orang yang berada di majlis tersebut.
Demikianlah uraian tentang lafal dan makna menurut ulama’ balaghah yang terbagi kepada Hakikat dan Majaz.

C. Penutup

Kajian lafal dan makna yang dilakukan oleh ulama’ balaghah telah berlangsung sejak lama. Kajian makna dikalangan ulama’ ushul pada mulanya bertujuan untuk memahami makna teks-teks al-Qur’an, disamping juga untuk mengetahui sisi kemu’jizatan al-Qur’an ditijau dari segi lafal dan maknanya.

_______________________________

Daftar Pustaka

Al-Damanhuri, Ahmad, Hilyah al-Lub al-Mashun ‘Ala al-Jauhar al-Maknun, Surabaya, al-Hidayah, tt

Al-Hasyimi, Ahmad, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’, Surabaya, al-Hidayah, 1960

al-Jarim, Ali dan Amin, Mushtofa, Al-Balaghah al-Wadihah, Surabaya, al-Hidayah, 1961

Al-Suyuthi, Jalal al-Din, Uqud al-Juman, Surabaya, al-Hidayah, tt

Hilal, Abdul Ghaffar Hamid, Ilm al-Dilalah al-Lughawiyah, Kairo, Jami’ah al-Azhar, tt

Jinni, Ibnu, Al-Khashaiash, www.alwarraq.com

Makluf, Luwis, Al-Munjid Fi al-Lughah, Beirut, Dar al-Masyriq, 1998, cet:37

Mujahid,Abdul Karim, Al-Dilalah al-Lughawiyah ‘Inda al-Arab, tp. Kota, al-Maktabat wa al-Watsaiq al-Wathaniyah, 1985

Nashif, Hifni et.all, Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyah, Surabaya, al-Hikmah, tt

Qaddur, Ahmad Muhammad, Al-Lisaniyat Wa Afaq al-Dars al-Lughawi, Damaskus, Dar al-Fikr, 2001

Syahin, Taufiq Muhammad, Awamil Tanmiyah al-Lughah al-‘Arabiyah, Kairo, Maktabah Wahbah, 1980

Ulwan, Thariq, Dairah al-Ma’arif , Damaskus, Dar al-Ashama’, 2000

[1] Abdul Ghaffar Hamid Hilal, Ilm al-Dilalah al-Lughawiyah, (Kairo, Jami’ah al-Azhar, tt) hal: 115
[2] Abdul Karim Mujahid, Al-Dilalah al-Lughawiyah ‘Inda al-Arab, (tp. Kota, al-Maktabat wa al-Watsaiq al-Wathaniyah, 1985) hal: 83
[3] Ibnu Jinni, Al-Khashaiash, (www.alwarraq.com) hal: 1/227
[4] Jalal al-Din al-Suyuthi, Uqud al-Juman, (Surabaya, al-Hidayah, tt) hal: 91
[5] Taufiq Muhammad Syahin, Awamil Tanmiyah al-Lughah al-‘Arabiyah, (Kairo, Maktabah Wahbah, 1980) hal: 151
[6] Ahmad Muhammad Qaddur, Al-Lisaniyat Wa Afaq al-Dars al-Lughawi, (Damaskus, Dar al-Fikr, 2001) hal: 162-167
[7] Lihat: Luwis Makluf, Al-Munjid Fi al-Lughah, (Beirut, Dar al-Masyriq, 1998, cet:37) hal: 562
[8] Ahmad al-Damanhuri, Hilyah al-Lub al-Mashun ‘Ala al-Jauhar al-Maknun, (Surabaya, al-Hidayah, tt)hal: 116
[9] Hifni Nashif et.all, Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyah, (Surabaya, al-Hikmah, tt) hal: 97
[10] Asal dari pada Isti’arah adalah bentuk tasybih yang dibuang salah satu dari dua ujung tasybih, wajah syabah, adat tasybih-nya. Akan tetapi Isti’arah itu lebih sempurna dari pada tasybih, sebab tasybih itu sekalipun mencapai puncak kesempurnaan, akan tetapi masih perlu menyebutkan musyabbah dan musyabbah bih, inilah yang membedakan Isti’arah dengan tasybih, dan ‘alaqah dalam tasybih hanyalah penyerupaan dan pendekatan, tidak sampai pada batas menyatu. Berlainan dengan Isti’arah, sebab dalam Isti’arah terdapat pernyataan menyatu dan bercampurnya makna. Disamping itu musyabbah dan musyabbah bih-nya keduanya telah menjadi satu makna yang ditempati oleh salah satu kata. Lihat, Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’, (Surabaya, al-Hidayah, 1960) hal: 303-304
[11] Ali al-Jarim dan Mushtofa Amin, Al-Balaghah al-Wadihah, (Surabaya, al-Hidayah, 1961) hal: 75
[12] Thariq Ulwan, Dairah al-Ma’arif , (Damaskus, Dar al-Ashama’, 2000) hal: 131
[13] Ali al-Jarimi dan Musthofa Amin, al-Balaghah al-Wadihah, hal: 110
[14] Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’, hal:292-296

Wednesday, November 26, 2008

BUKU PELAJARAN DAN PERANANNYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

Oleh: Hasanudin, MA

Buku pelajaran dalam sistem persekolahan merupakan sebuah benda yang sudah lazim dikenal sejak dulu. Ia merupakan alat bantu bagi guru dalam melaksanakan tugasnya di kelas. Bahkan, ketika penulis sekolah di tingkat dasar dan menengah pertama, jika guru ada keperluan dan tidak bisa melaksanakan tugasnya di kelas, cukup dengan menitipkan buku untuk dicatat. Sekarangpun, hal seperti itu penulis kira masih banyak terjadi di sekolah-sekolah kita. Permasalahannya, dari dulu kala sampai sekarang pemanfaatan buku pelajaran masih sebagai pengganti guru. Pada era dimana paradigma pembelajaran beralih dari teaching kepada learning, maka peran buku pelajaran tidak hanya sebagai pengganti guru di kelas, tetapi sebagai partner guru dalam membelajarkan siswa di kelas maupun di luar kelas ?
Buku pelajaran memang memiliki peran yang penting dalam pembelajaran pada sistem persekolahan. Studi yang dilakukan oleh World Bank di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku pelajaran berakorelasi dengan prestasi belajarnya.[1]kemudian studi yang dilakukan oleh Heyneman dan kawan-kawan melaporkan bahwa dari 18 korelasi yang dihitung 83 % diantaranya secara signifikan menunjukkan kuatnya hubungan antara buku pelajaran dengan prestasi belajar siswa.[2] Hal ini dapat dimengerti, karena menurut Patrick, buku teks, khususnya buku pelajaran, merupakan media instruksional yang dominan peranannya di kelas.[3]Selain itu karena buku pelajaran merupakan alat untuk menyampaikan materi kurikulum, maka ia menduduki peranan sentral pada semua tingkat pendidikan.
Alan Cunningswort,[4] seorang ahli pengajaran bahasa dari Oxford menguatkan penjelasan di atas. Ia mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang pengaruhnya lebih besar terhadap isi dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran selain buku pelajaran dan bahan ajar lainnya yang digunakan.[5]
Buku pelajaran memainkan peran utama dalam pengajaran bahasa di kelas pada semua jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta, sekolah menengah maupun perguruan tinggi, di seluruh dunia. Guru bebas memilih buku pelajaran yang akan mereka gunakan. Hampir setiap guru, jika tidak semua, mempunyai buku pelajaran baik karena disarankan kepada mereka maupun karena keperluan mereka dalam dunia pengajaran.
Guru menggunakan buku pelajaran karena ia memiliki beberapa fungsi. Sheldon mengajukan tiga alasan utama yang diyakininya mengenai penggunaan buku pelajaran oleh para guru. Pertama, karena mengembangkan materi ajar sendiri sangat sulit dan berat bagi guru. Kedua, guru mempunyai waktu yang terbatas untuk mengembangkan materi baru karena sifat dari profesinya itu. Ketiga, adanya tekanan eksternal yang menekan banyak guru [6]. Ketiga alasan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh guru dalam memilih buku.
Penggunaan buku pelajaran merupakan cara yang paling efisien karena waktu untuk mempersiapkan bahan ajar berkurang. Di samping itu, buku menyediakan aktivitas yang sudah siap untuk dilaksanakan dan membekali siswa dengan contoh konkrit.
Alasan lain bagi penggunaan buku pelajaran ialah karena buku pelajaran merupakan kerangka kerja yang mengatur dan menjadwalkan waktu kegiatan program pengajaran; di mata siswa, tidak ada buku pelajaran berarti tidak ada tujuan; tanpa buku pelajaran, siswa mengira bahwa mereka tidak ditangani secara serius; dalam banyak situasi, buku pelajaran dapat berperan sebagai silabus; buku pelajaran menyediakan teks pengajaran dan tugas pembelajaran yang siap pakai; buku pelajaran merupakan cara yang paling mudah untuk menyediakan bahan pembelajaran; siswa tidak mempunyai fokus yang jelas tanpa adanya buku pelajaran dan ketergantungan pada guru menjadi tinggi; dan bagi guru baru yang kurang berpengalaman, buku pelajaran berarti keamanan, petunjuk, dan bantuan[7].
Alasan penggunaan buku pelajaran seperti ini hanya berlaku jika: 1) buku pelajaran memenuhi kebutuhan guru dan siswa, 2) topik-topik dalam buku pelajaran relevan dan menarik bagi guru dan siswa, 3) buku pelajaran tidak membatasi kreativitas guru, 4) buku pelajaran disusun dengan realistik dan memperhitungkan situasi belajar-mengajar di kelas, 5) buku pelajaran beradaptasi dengan gaya belajar siswa, dan 6) buku pelajaran tidak menjadikan guru sebagai budak dan pelayan.
Apabila aspek-aspek ini tidak dipenuhi, maka buku pelajaran hanya akan menjadi masses of rubbish skillfully marketed, seperti diungkapkan oleh Brumfit,[8] yang hanya akan menguntungkan secara materi bagi pihak-pihak yang dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi membisniskan buku teks, dan mencemari dunia pendidikan. Dalam hal seperti ini, sebaiknya guru dibekali dengan pengetahuan bagaimana memilih buku pelajaran dan bagaimana mengaplikasi-kannya secara kreatif di kelas.
Adanya perubahan pendekatan pembelajaran dari teacher centered, berimplikasi pada perubahan peran dan dominasi guru didalam kegiatan di kelas. Hubungan antara guru dan siswa yang satu arah, sehingga guru melakukan banyak hal dan siswa berperan kurang aktif tidak cocok lagi. Peran guru hendaknya sebagai fasilitator bagi siswa untuk belajar. Dalam hal ini maka guru harus bersedia mensubordinasikan perilaku dirinya sendiri terhadap kebutuhan siswa. Jadi yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran di kelas adalah memotivasi siswa untuk menjadi aktif belajar. Paradigma baru ini mengokohkan peran buku dalam pembelajaran. Pada keadaan yang demikian buku pelajaran memegang peranan. Buku pelajaran menjadi bahan yang amat strategis bagi siswa dan guru, karena ia dapat digunakan sebagai acuan bagi guru dan siswa untuk mencapai tujuan-tujuan kurikulum.
Karena kegiatan guru adalah memotivasi siswa, menurut Soenjono Dardjowidjojo maka materi dalam buku pelajaran bahasa harus disesuaikan. Kebiasaan yang berkutat pada materi untuk mendengarkan, mengulang dan menghafal harus ditinggalkan. Materi buku pelajaran bahasa harus diubah menjadi aktivitas yang membuat siswa melakukan tugas untuk memecahkan masalah.Tipe materi yang cocok untuk buku pelajaran seperti ini menurut Soenjono Dardjowidjojo adalah materi yang task based[9] dan problem solving[10]. Materi dengan tipe seperti ini akan dapat mengembangkan penggunaan bahasa (language use) dan bukan hanya pemakaian bahasa (language usage).[11]
Jika penjelasan di atas memberitahukan kepada kita tentang bagaimana sebuah buku pelajaran dapat menggantikan peran guru sebagai sumber belajar, Wojowasito bahkan menyatakan bahwa materi pelajaran dapat memotivasi siswa dalam belajar. Motivasi siswa dalam belajar bahasa bisa berpangkal pada bahan pelajaran itu sendiri. Jadi selain berfungsi sebagai sumber bahan ajar, buku pelajaran dapat dijadikan sebagai media untuk membangkitkan motivasi siswa. Tentu saja jika buku pelajaran itu memiliki arti yang penuh bagi siswa. Maksudnya adalah bahwa materi yang ada dalam buku pelajaran itu dihubungkan erat dengan realitas. Dengan demikian siswa dapat menyadari bahwa susah payahnya tidak sia-sia dan akan membawa hasil yang dapat dirasakan yang dapat membawa mereka lebih maju dalam kehidupan.[12]
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa buku memegang peranan sebagai guru kedua bagi siswa. Selain itu, buku juga dapat dijadikan sebagai media untuk memotivasi siswa dalam belajar. Selama ini peran untuk memotivasi siswa didominasi oleh guru dan media audio visual, sedangkan buku hanya diposisikan sebagai sumber belajar kedua setelah guru. Bahkan pada situasi-situasi tertentu, dimana penguasaan guru terhadap materi pelajaran yang mumpuni, peran buku sangat rendah dalam proses belajar mengajar. Buku hanya diposisikan sebagai alat bantu guru bila ia diperlukan.
Selain buku berfungsi sebagai media instruksional yang berperan di kelas, sesungguhnya ia juga berperan dominan pada pembelajaran di luar ruang kelas, karena pembelajaran tidak terbatas di ruang kelas, tetapi juga dapat dilaksanakan di luar ruang kelas. Pembelajaran seperti inilah yang diharapkan untuk mengatasi terbatasnya jumlah jam yang disediakan untuk proses pembelajaran di kelas dan untuk mengurangi ketergantungan siswa kepada guru, serta memupuk kemandirian dalam belajar, sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dan kreatif.[13]Pemenuhan kebutuhan siswa oleh buku pelajaran sangat sulit diwujudkan jika penyusunan buku pelajaran dilakukan secara nasional. Karena buku pelajaran bersifat sangat lokal, jadi sebaiknya disusun oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan (bisa juga disusun bersama oleh MGMP provinsi atau kab/kota), dengan melihat potensi dan kebutuhan siswa serta sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah dimana buku pelajaran tersebut akan digunakan. Dengan demikian, setiap guru harus dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk menyusun buku pelajaran yang baik, efektif dan efisien. Semangat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang memberdayakan guru untuk menentukan kurikulum dan materi pelajaran pada Tingkat Satuan Pendidikannya sendiri, memberi jalan kepada guru untuk menunjukkan kreativitasnya dalam menyusun buku pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Selamat belajar.......
_____________________________________________
[1] World Bank, Indonesia: Basic Education Study, (Washington DC: World Bank, 1989)
[2] S.P. Heyneman, J, Farrel, dan M. Sepulvedo Stuarto, Textbook and Achievment:Wahat we Know, (dalam Journal of Curriculum 13:3 tahun 1981.)
[3] J.J Patrick, Highschool Governement Textbook, (dalam ERIC DIGEST ED301532, Desember 1988).
[4] Alan Cunningsworth, Choosing Your Coursbook, (Oxford:Heineman, 1995) hal. 3-4.
[5] Alan Cunningsworth, Choosing Your Coursbook, … hal. 22
[6] Sheldon, The Elaboration of School Textbooks: Methodological Guide. (UNESCO: 2001) h.2

[7] Hasan Ansary and Esmat Babaii: A Step Toward Systematic Textbook Evaluation. (Iran: Shiraz University, 2002) h. 2

[8] Hasan Ansary and Esmat Babaii: ....
[9] Dalam proses pembelajaran Mosston menyebutnya dengan task style, yaitu sebuah model pembelajaran yang perencanaannya tetap dilakukan guru secara penuh tanpa mlibatkan siswa sama sekali, perancangan pelaksanaan pembelajaran juga dilakukan oleh guru, nam un pelaksanaan proses pembelajaran sepenuhnya oleh siswa, akan tetapi , ketika dalam proses evaluasi diakhir waktu belajar, kembali menjadi otoritas guru. (Muska Mosston, Teaching from Command to Discovery, (California: Wadsworth Publishing Company, 1972) hal. 45-46.
[10] Rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. (Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006) hal. 212.)
[11] Katharina E. Soekamto (penyunting), Rampai Bahasa, Pendidikan, dan Budaya; Kumpulan Esai Soenjono Dardjowidjojo,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003) hal. 100. Menurut Wilikins, Penggunaan bahasa tidak berarti meninggalkan tata bahasa tetapi mengubah keseimbangan prioritas dengan menekankan fungsi dan makna bahasa (D.A. Wilkins, An Investigation into the Linguistic and Situational Content of the Common Core in a Unit/Credit System, (Strassbourgh:Council of Euorope, 1972) hal. 83)
[12] S. Wojowasito, Perkembangan Ilmu Bahasa; Linguistik Abad 20 Sebagai Dasar Pengajaran Bahasa, (Bandung: Shinta Darma, 1976) hal. 106
[13] Hal ini sesuai dengan prinsip pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau Standar Isi yang diantaranya adalah bahwa kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (DEPAG RI, Standar Isi Madrasah Aliyah, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2006) hal. 4)

Wednesday, November 12, 2008

SEJARAH PERKAMUSAN DI INDONESIA

Penulis : Ahyani, MA

Pendahuluan

Belajar bahasa asing memerlukan alat penunjang yang antara lain adalah kamus. Barangkali kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Arab dalam masalah kebahasaan dapat diatasi dengan bantuan kamus.
Penyusunan kamus merupakan proses yang panjang. Setiap tahap dalam proses itu merupakan kumulasi dari penelitian dan analisis bahasa serta kegunaan praktis kamus hasil proses sebelumnya. Sejarah leksikografi (perihal penyusunan kamus) di Indonesia dimulai dari daftar kata atau glosarium ke kamus-kamus dwibahasa kemudian ke kamus-kamus ekabahasa. Menurut catatan, karya leksikografi tertua dalam sejarah studi bahasa di Indonesia ialah daftar kata Cina-Melayu pada permulaan abad ke-15, yang berisi 500 lema (entri).
Sejarah perkamusan dinegeri ini terus berkembang dari masa kemasa. Saat ini terdapat berbagai ragam karya leksikografi yang berkembang di Indonesia, baik itu termasuk kamus eka bahasa maupun dwibahasa untuk menjelaskan makna bahasa asing kedalam bahasa Indonesia. Banyak ditemukan di toko-toko buku berbagai ragam kamus seperti, Jepang, Perancis, Italia, Mandarin, Inggris, Arab, Spanyol dll. Dengan begitu banyaknya ragam kamus, sehingga tidak memungkinkan bagi penulis untuk membahasnya secara keseluruhan, dan pembahasan pada makalah ini akan difokuskan pada sejarah perkamusan bahasa Arab-Indonesia atau sebaliknya.
Sejarah kamus Arab-Indonesia telah diawali oleh kamus Arab-Melayu, sehingga makalah ini akan menyinggung juga pembahasan tentang kamus Arab-Melayu yang beredar di Indonesia disamping melihat sejarah perkembangan kamus Arab-Indonesia hingga masa kini. Pada awal pertumbuhan kamus Arab Melayu, setidaknya ada tiga yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia antara lain: kamus Al Inarah Al Tahzibiyah, kamus Idris Al Marbawi dan kamus Al Zahabi. Namun sebelum itu semua, untuk lebih memantapkan pembahasan dalam sejarah perkamusan, perlu kiranya penulis paparkan juga selayang pandang tentang hakikat kamus.
Pembahasan
1. Selayang Pandang Tentang Hakikat Kamus

a. Pengertian dan fungsi

Kata kamus diserap dari bahasa Arab qamus, dengan bentuk jamaknya qawamis. Kata Arab itu sendiri berasal dari bahasa Yunani okeanos yang berarti lautan. Kamus merupakan buku acuan yang memuat kata dan ungkapan, biasanya disusun menurut abjad berikut keterangan tentang makna, pemakaian dan terjemahannya. Berbeda dengan kamus, sebuah acuan yang memberikan uraian tentang berbagai cabang ilmu atau bidang ilmu tertentu dalam artikel-artikel terpisah, maka disebut ensiklopedi, sedangkan bila kata-kata tersebut tidak disusun secara alfabetis melainkan disusun atas dasar pengelompokan hiponim, sinonim dan antonim, maka disebut tesaurus.[1]
Kamus berguna membantu para pemakai untuk mengenal kata-kata baru berikut maknanya. Selain menerangkan makna kata, kamus juga memuat cara-cara mengucapkan kata tersebut, menerangkan asal kata serta memberikan contoh-contoh penggunaannya dalam masyarakat. Sebagaimana dikatakan pula oleh Samuel Johnson, Bapak leksikografi Inggris, Penyusun Dictionary of the English Language (1755 ), bahwa fungsi kamus adalah memelihara kemurnian bahasa. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Noah Webster, bapak leksikografi Amerika, penyusun An American Dictionary of The English Language (1882). Sedangkan Dr. Hamid Shadik Qatibi memandang kata kamus merupakan sinonim dari kata mu’jam dan memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Menemukan makna sebuah kata
2. Menetapkan palafalan dan cara pengucapan
3. Menetapkan ejaan
4. Menelusuri asal asul sebuah kata
5. Membedakan antara kata yang tak lazim dan tak terpakai serta menjelaskan kata-kata yang murni dan serapan
6. Mengetahui sinonim dan antonim
7. Penggunaan kata-kata sastra dan peribahasa
8. Pengetahuan yang bersifat ensiklopedis[2]
Sama halnya dengan pendapat Qatibi tentang fungsi kamus diatas adalah pendapat Mukhtar Umar yang menyebutkan juga bahwa fungsi kamus yaitu untuk menerangkan cara menulis kata, labih-lebih bila huruf alfabet yang ditulis tidak mewakili sepenuhnya suara yang dilafalkan, disamping untuk menentukan fungsi morfologis sebuah kata dan penentuan stress (tekanan) saat pelafalan.[3]

b. Macam-macam Kamus
Secara umum, macam-macam kamus dapat dilihat dari beberapa segi antara lain: 1) ruang lingkup isinya, 2) penggunaan bahasanya, 3) sifatnya, 4) ukurannya, dan 5) ciri khususnya.
Berdasarkan ruang lingkup isinya, kamus terbagi menjadi kamus umum dan kamus khusus. Yang dimaksud kamus umum adalah kamus yang memuat segala macam topik yang ada dalam sebuah bahasa. Bila kamus itu hanya memuat kata-kata dari suatu bidang tertentu, maka kamus itu disebut kamus khusus. Yang termasuk kedalam jenis kamus khusus ini anatar lain: 1) kamus istilah, yakni kamus yang menjelaskan istilah-istilah khusus dalam bidang tertentu, 2) kamus etimologi, yakni kamus yang menerangkan asal usul suatu kata maksud dasarnya, 3) kamus peribahasa, yakni kamus yang menerangkan maksud suatu peribahasa, 4) kamus kata nama khas, yakni kamus yang hanya menyimpan kata nama khas ( nama tempat, nama tokoh, nama institusi dll).
Berdasarkan sifatnya, kamus terbagi kedalam kamus standar dan kamus non-standar. Kamus standar merupakan kamus yang diakui dan memuat kata-kata yang standar dalam suatu bahasa. Dan sebaliknya bila kata-kata yang terdapat dalam kamus bukan termasuk kata-kata standar, maka disebut kamus non-standar. [4]
Berdasarkan penggunaan bahasanya, kamus terbagi kedalam kamus ekabahasa, kamus dwibahasa dan kamus aneka bahasa (multi bahasa). Kamus ekabahasa adalah kamus yang hanya menggunakan satu bahasa. Kata-kata ( entri ) yang dijelaskan dan penjelasannya terdiri dari bahasa yang sama. Kamus dwibahasa merupakan kamus yang menggunakan dua bahasa, yakni kata masukan yang ada dalam kamus diberi padanan atau maknanya dalam bahasa lain. Sedang kamus aneka bahasa itu sekurang-kurangnya menggunakan tiga bahasa atau lebih.
Berdasarkan ukurannya, kamus terbagi kedalam kamus mini, kamus kecil dan kamus besar. Kamus mini disebut juga dengan kamus saku, karena bentuknya yang kecil dan bisa disimpan dalam saku, biasanya tebalnya kurang dari 2 cm. Kamus kecil memiliki ukuran yang tidak besar, tetapi lebih besar dari kamus saku, kamus ini memiliki sifat bisa dibawah kemana-mana. Sedangkan kamus besar dapat memuat segala leksikal yang terdapat dalam suatu bahasa, setiap kata dijelaskan maksudnya secara lengkap, biasanya ukurannya besar dan sulit untuk dibawa kemana-mana.[5]

2. Sejarah Perkamusan Arab di Indonesia
Perkembangan perkamusan Arab di Indonesia dapat dibagi dalam beberapa periode, antara lain:

Periode kamus Arab-Melayu
Kamus sebagai alat bantu mempelajari bahasa Arab belum ditemukan di abad awal perkembangan agama Islam di Indonesia. Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijrah atau abad ke delapan masehi.[6] Hal ini menurut kesimpulan dari hasil seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada 1968, walaupun ada sebagian yang berpendapat bahwa agama Islam sudah masuk dan berkembang di Indonesia mulai abad XIII M.
Dengan masuknya agama Islam, masyarakat Indonesia jadi mengetahui adanya bahasa Arab sebagai bahasa agama. Sebagaimana dikatakan oleh Abdul Mu’in bahwa bahasa Arab dikenal di Indonesia sama dengan dikenalnya Islam, dengan kata lain bahasa Arab di Indonesia sama tuanya dengan agama Islam.[7]
Namun sejarah perkamusan Arab-Indonesia baru berlangsung setelah bebarapa abad masuknya Islam. Dan itupun masih dilatarbelakangi oleh kamus Arab-Melayu. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa ada tiga buah kamus Arab-Melayu yang banyak beredar di Indonesia, walaupun sebenarnya bila ditelusuri lebih lanjut telah ditemui adanya kamus yang ditulis Frederik D’ Houtman yang berjudul Spraeck ende woord-boek, Inde Malaysche Inde Madagaskarsche Talen met vele Arabische ende Turcsshe Woorden (1603). Ketiga kamus Arab-Melayu tersebut antara lain:

1. Kamus Al Inarah Al Tahzibiyah
Kamus ini disusun oleh Moehammad Fadloellah bersama B.Th.Brondgeest pada tahun 1925. Kamus ini terdiri atas empat jilid dengan 1027 halaman dalam ukuran besar. Penyusun menyajikan pendahuluannya dengan bahasa Melayu dan ditulis dengan huruf latin. Adapun tujuan kamus adalah untuk membantu pemakai kamus mencari makna kata yang dikehendaki dalam teks-teks berbahasa Arab. Semua lemanya dari bab alif sampai ya’ disusun secara alifba’i al jazari ( alfabetis Arab menurut urutan akar kata).
Bahasa lema Al Inarah Al Tahzibiyah adalah bahasa Arab dan bahasa penjelasan maknanya adalah bahasa Melayu. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan kamus ini adalah untuk membantu para pemakai memahami teks-teks Arab. Semua lema kamus ini diberi baris secara lengkap kecuali syakl huruf akhir kata.
Kamus ini menyebutkan fi’il dengan semua musytaqqatnya (turunannya) termasuk fi’il mudhari’, mashdar, ism fa’il, ism maf’ul dan isim makan. Kamus ini juga menggunakan sejumlah besar penunjang penjelas makna.

Kamus Idris Al Marbawi
Biografi penyusun
Penyusun kamus ini yaitu Syekh Mohammad Idris bin Abdur Rauf Al Marbawi, dilahirkan di Makkah al Mukarramah pada 28 Zulkaedah 1113 H / 1893 M. Pada usia 10 tahun, beliau meninggalkan Makkah untuk menetap bersama keluarganya di tanah air, Malaysia. Disitu beliau banyak belajar dari satu pondok ke pondok lain, hampir semua pondok dimana beliau pernah menuntut ilmu merupakan tempat tujuan pelajar ilmu-ilmu agama dari seluruh pelosok nusantara.
Pada saat berusia kurang lebih 31 tahun, Syekh Mohammad Idris Al Marbawi mengambil keputusan untuk melanjutkan pelajaran di universitas Al Azhar, Mesir. Pada saat menjalani proses studi di universitas tersebut, beliau menyusun kamus Arab-Melayu yang diperuntukkan untuk masyarakat melayu yang ingin mempelajari bahasa Arab. Kamus tersebut diterbitkan pada tahun 1920-an dan sampai saat ini telah dicetak tidak kurang dari 24 kali.
Walaupun sebenarnya beliau berkebangsaan Malaysia, namun sumbangannya terhadap sejarah perkamusan bahasa Arab di Indonesia cukup besar. Dan memang perkembangan bahasa di Malaysia berikut perkembangan leksikografinya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan bahasa Indonesia.[8]
Kamus Al Marbawi ini merupakan karya pertama beliau. Berawal dari karya pertama ini, akhirnya beliau mulai menekuni dunia penulisan secara lebih serius dan menghasilkan banyak karya agama. Diantar kitab karya beliau adalah kitab Bahrul Mazi yang membicarakan 8200 permasalahan agama dan hal ihwal dunia akhirat, tafsir al Qur’an dalam bahasa Melayu (Tafsir Qur’an Marbawi, Tafsir Qur’an Nurul Yakin dan Tafsir Surah Yasin), Tafsir Fathul Qadir, Kitab Bulughul Maram, Kitab Jami’ul Ulam, Usul al Islam, Nizamul Hayah, Mu’jam al Kainat (4 jilid) dan beberapa buah lagi.

b. Karakteristik Kamus Al Marbawi
Kamus ini termasuk jenis kamus berukuran sedang. Penyusun memberikan pendahuluannya dengan bahasa Melayu dan ditulis dengan huruf Arab. Adapun tujuan kamus ini adalah untuk membantu bangsa Melayu yang belajar bahasa Arab, nahwu dan sharf.[9]
Sejumlah lema pada bab alif, ta’ dan mim kamus ini disusun secara alifba’i al nuthqi (alfabetis Arab sesuai urutan huruf dalam kata). Lema pada bab-bab yang lain disusun secara alifba’i al-jazari. Adapun pemakai kamus ini pada tingkat pemula dan lanjut. Jumlah lema yang terdapat dalam kamus ini sebanyak 18.000 lema dalam 785 halaman dan 700 perkataan disertai gambar, sehingga bila dilihat dari sifatnya kamus ini tergolong kamus umum dan berukuran sedang.
Bahasa lema kamus ini adalah bahasa Arab dan bahasa penjelasan maknanya adalah bahasa Melayu. Kamus ini menyebutkan fi’il dengan semua musytaqqatnya (turunannya) termasuk fi’il mudhari’, masdar, isim fa’il, isim maf’ul, isim makan. Kamus ini juga menggunakan penunjang penjelas makna (syawahid tawdhihiyyah) dan menggunakan gambar pada halam khusus yaitu antara pendahuluan bab alif serta disela-sela lema.
Al Marbawi juga menyajikan sejumlah data ensiklopedis seperti yang terdapat dalam bab hamzah: Socrates, Nabi Idris, Nabi Adam, Iram, Armenia dll. Demikian pula data-data yang berupa singkatan-singkatan dan kode-kode yang jumlahnya sekitar 22 macam disajikan dalam kamus tersebut. Sebagian contohnya antara lain:
( ) : pengapit padanan kata
* : penunujuk kata lama yang dihidupkan kembali
اب : penunujuk bahwa kata itu diambil dari kitab Asas Al Balaghah
ت ع : penunjuk bahwa kata itu diambil dari kamus Taj Al Arus
ف : penunjuk muannats, dll

Kamus al Zahabi

Kamus ini disusun oleh Mahmud Yunus pada tahun 1930 saat beliau menuntut ilmu di Al Azhar, Kairo. Bisa dikatakan bahwa kamus Mahmud Yunus merupakan kamus Arab pertama yang dihasilkan oleh putra Indonesia. Mengenai biografi Mahmud Yunus, beliau dilahirkan di Batu Sangkar pada 10 Pebruari 1899, Sumatera Barat dari pasangan Yunus bin Incek dan Hafsah binti Thahir. Kakeknya dari ibu merupakan seorang ulama besar. Dia mendapat gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu Tarbiyah. [10] Beliau merupakan seorang pembaharu pengajaran bahasa Arab di tanah air. Beliau mulai terlibat gerakan pembaruan setelah mewakili gurunya untuk hadir dalam rapat besar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang Panjang, Sumatra barat. Pertemuan itu secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola pemikiran pembaruan Mahmud, terutama berkat pandangan-pandangan yang dikemukakan sejumlah tokoh pembaru seperti Abdullah Ahmad serta Abdul Karim Amrullah. Tahun 1924, Mahmud Yunus berangkat ke Kairo untuk belajar di al Azhar dalam bidang ilmu ushul fiqh, ilmu tafsir, fikih Hanafi dan sebagainya. Hanya dalam tempo setahun, dia berhasil mendapatkan Syahadah Alimiyah dari al-Azhar dan menjadi orang Indonesia kedua yang memperoleh predikat itu. Dalam bidang pengajaran bahasa Arab, Mahmud Yunus tidak hanya menekankan perlunya penguasaan materi bagi guru, namun juga menyatakan pentingnya penggunaan didaktis-metodis modern agar siswa dapat belajar bahasa Arab dengan mudah. Menurutnya, metode atau cara mengajar ialah jalan yang akan ditempuh oleh guru untuk memberikan pelbagai pelajaran kepada murid-murid dalam belbagai jenis mata pelajaran. Sesungguhnya cara mengajar itu tidak sama, bahkan berlainan menurut mata pelajaran yang diajarkan.[11]
Selama hidupnya tidak kurang dari 43 karya tulis telah dihasilkannya termasuk diantaranya kamus Bahasa Arab Indonesia. Beliau wafat pada 16 januari 1983 dalam usia 83 tahun di kebun kosong Kemayoran, Jakarta Pusat dan dimakamkan dipemakaman IAIN Syarif Hidayatullah.
Dalam penyusunan kamus ini, penyusun memberikan pendahuluannya dengan bahasa Melayu dengan huruf Arab. Adapun tujuan kamus seperti ditegaskan pengarangnya adalah untuk membantu murud-murid yang belajar agama Islam dan orang-orang yang belum menguasai ilmu sharaf serta guru-guru yang hendak membaca surat kabar-surat kabar bahasa Arab.
Sejumlah lema pada bab alif, ta dan mim kamus ini disusun secara alifba’i al-nuthqi, sedangkan lema pada bab-bab yang lain disusun secara alifba’i al-jazari. Dan lemanya secara keseluruhan berjumlah 17.679. Adapun pemakai kamus ini adalah para pelajar bangsa Melayu tingkat lanjut.
Bahasa lema al zahabi adalah bahasa Arab dan bahasa penjelasan maknanya adalah bahasa Melayu. Ini menunjukkan bahwa tujuan kamus ini adalah untuk membantu para pemakainya memahami teks-teks Arab. Kamus ini tidak menyebutkan fi’il madhi dan fi’il mudhari’nya, tetapi menyebutkan musytaqqat (turunan) yang lain seperti masdar, isim fa’il dan isim makan.
Kamus ini menggunakan gambar dengan menempatkannya disela-sela lema serta pada halaman khusus setelah bab ya’. Al Zahabi juga menyajikan sejumlah data ensiklopedis seperti yang terdapat dalam bab hamzah: Adam, Aurubba (Eropa), Isbaniya (Spanyol) dan sebagainya.
Al Zahabi sama sekali tidak menyajikan singkatan, tetapi hanya menyajikan dua kode yaitu:
( ) : Pengapit fi’il mujarrad
2 : Penunjuk jamak dalam bahasa Melayu

Periode Kamus Arab-Indonesia
a. Masa Pertumbuhan
Periode ini ditandai dengan munculnya kamus yang disusun oleh Mahmud Yunus pada sekitar perempat terakhir abad-20 (1972). Berbeda dengan kamus yang disusun sebelumnya, kamus ini disusun saat beliau telah kembali ke tanah air.
Penyusunan kamus ini dilatar belakangi oleh tuntutan dari masyarakat, guru-guru dan para pelajar agar mencetak ulang kamus Zahabi supaya dapat membantu mereka dalam belajar bahasa Arab. Namun dengan beberapa pertimbangan, penyusun keberatan untuk mencetak ulang kamus Zahabi karena dirasa amat banyak kekurangannya. Hal inilah yang mendorong beliau menyusun kamus “Arab- Indonesia”.
Bila dilihat dari masanya, tampaknya tepat keputusan Mahmud Yunus untuk menyusun kamus Arab-Indonesia sebagai pengganti untuk mencetak ulang kamus Arab-Melayu, dimana saat itu masyarakat Indonesia sudah hidup dalam alam kemerdekaan dan telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dan bahasa nasional.
Hampir seluruh pelajar dan santri diseluruh pelosok nusantara mengenal dan menggunakan kamus ini. Ukurannya yang sedang dan ringan memudahkannya untuk dibawa kemana-mana.
Dalam penyusunan kamus ini, penyusun menyajikan pendahuluannya dengan bahasa Indonesia yang memakai huruf latin. Kamus ini secara umum cocok digunakan untuk pemula dan siapa saja yang hendak belajar bahasa Arab, meskipun mereka belum mahir dalam ilmu sharaf (morfologi).
Dalam kamus ini, selain berisi kata-kata Arab baru, diterangkan juga tafsir-tafsir sulit yang tidak dapat diketahui dengan kaidah-kaidah (wazan-wazan) ilmu sharaf, melainkan harus dihafal dan didengar dari orang Arab asli. Itulah yang dinamai kata-kata sama’i.
Dalam susunannya, kamus ini menetapkan lema (entri) dalam bentuk fi’il madhi, sehingga pencarian kata dalam bentuk apapun harus dekembalikan ke bentuk asalnya ( fi’il madhi ). Misalkan mau mencari kata مدرسة, maka pencarian kata tersebut harus berangkat dari entri درس . Pemakai / pelajar tidak menjadi kesulitan dengan pola seperti ini walaupun pelajar tersebut belum mempelajari ilmu sharaf. Menurut penyusun, yang memudahkan bahasa Arab ialah karena bahasa itu mempunyai wazan-wazan (neraca, timbangan), apabila dihafal wazan-wazan itu, maka dapat diketahui kata-kata lain dengan mengkiaskan dan mencontohkan kepada wazan itu.
Bahasa lema kamus ini adalah bahasa Arab dan bahasa penjelasannya adalah bahasa Indonesia. Bentuk ukurannya yang sedang, kamus ini mudah untuk digunakan dan mudah dibawa kemana-mana.
Kosa kata bergambar yang disajikan menurut kelompok katanya menjadi pelengkap dalam kamus ini. Hal ini membantu pelajar untuk belajar bahasa Arab secara visual tanpa perlu menghafalkan mufrodat dan dapat membedakan satu makna kata dengan makna lainnya, contoh dalam kata ريشة & قلم حبر . Dan kosa kata bergambar ini terletak antara pendahuluan dan bab alif sebagaimana dalam kamus al marbawi.
Sebagaimana kamus pendahulunya, ada beberapa entri yang terdapat dalam kamus ini merupakan data ensiklopedis. Beberapa singkatan dan tanda-tanda digunakan, seperti: ج untuk menunjukkan jamak, م menunjukkan muannats, مف menunjukkan mufrad, dan مص menunjukkan kata tersebut adalah bentuk mashdar. Sedangkan tanda yang digunakan adalah tanda kurang dalam kata-kata Arab untuk pembatas antara kata-kata yang sama artinya dan berlainan bentuknya, tanda kurung untuk menunjukkan kata asli/sama’i dan kadang-kadang untuk penerangan. Tanda koma dalam kata-kata Indonesia berarti dan / atau.

b. Masa Perkembangan
Setelah kamus Arab-Indonesia yang disusun oleh Mahmud Yunus, di Indonesia bermunculan kamus-kamus lain dengan berbagai ragam dan ukurannya, tidak hanya dalam bentuk kamus dwibahasa Arab-Indonesia, tetapi juga Indonesia-Arab dan kamus multibahasa yaitu Arab-Inggris-Indonesia atau Inggris-Indonesia-Arab.
Kamus-kamus yang berhasil didata oleh penulis antara lain: 1) Kamus Indonesia-Arab,1982, disusun oleh Asad M. Alkalali, 2) Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, 1984, yang disusun oleh Ahmad Warson Munawwir, 3) Kamus Saku Arab-Inggris-Indonesia, 1983, disusun oleh Elias A Elias & Edward Elias – H. Ali Almascatie BA, 4) Kamus Al Qur’an, 1987 ( Judul asli “Kalimatul Qur’an-Tafsir wa Bayan) yang disusun oleh Hasanain Muhammad Makhluf dan diterjemahkan oleh Drs Hery Noer Aly, 5) Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, 1996, disusun oleh Atabik Ali- Ahmad Zuhdi Muhdlor, 6) Kamus Indonesia Arab-Istilah Umum dan Kata-Kata Populer, disusun oleh M. Abdul Ghofar E.M (2000) 7) Kamus Inggris-Indonesia-Arab, 2003, disusun oleh Atabik Ali, dan bebeapa kamus kecil lainnya antara lain: kamus Indonesia -Inggris-Arab yang disusun oleh H.A. Rachman Arfan, kamus Indonesia-Arab / Arab-Indonesia disusun oleh Basuni Imaduddin & Nasiroh Ishaq, kamus tiga bahasa Almanar yang disusun oleh Idrus al Kaf, kamus Akbar Arab-Indonesia oleh H.Syarif Al Qusyairi, kamus Indonesia-Arab disusun oleh Abdullah bin Nuh & Umar Bakri, kamus Al Munir Indonesai- Arab & Arab-Indonesia yang disusun oleh Dra. Balkiah SM & Drs. Andre Putra Wicaksono.
Untuk mengetahui karakteristik masing-masing kamus, perlu adanya pembahasan atas masing-masing kamus, namun disini hanya diambil beberapa sampel saja yang mewakili keseluruhan jenis kamus-kamus tersebut, yakni pembahasan kamus Al Kalali sebagai kamus Indonesia-Arab, kamus al Munawwir sebagai kamus Arab-Indonesia yang banyak pemakaiannya di Indonesia, dan kamus Al Ashri sebagai kamus Inggris-Arab-Indonesia.

Kamus Indonesia-Arab Al Kalali
Selang waktu sepuluh tahun setelah munculnya kamus Arab-Indonesia yang disusun oleh Mahmud Yunus, dunia keilmuan di Indonesia diperkaya oleh munculnya kamus Indonesia-Arab yang disusun oleh Asad M. Al Kalali. Mengenai biografi Al Kalali, beliau dilahirkan pada tahun 1904 di Cirebon, putra dari syekh Muhammad bin Salim al Kalali, pendiri majalah Al Imam (1908) yang memiliki visi misi sama dengan majalah Al Manar Mesir yang dimotori oleh Muhammad Rasyid Ridha. Sejak kecil Al Kalali telah belajar bahasa Arab dari ayahnya, kemudian setelah menginjak usia sekolah beliau banyak belajar bahasa Arab dari sekolah Al Irsyad yang didirikan oleh Syekh Muhammad Surkati Ansori dan Syekh Muhammad Al Aqib yang dikemudian hari Al Aqib ini dipercaya sebagai mufti negara Sudan.
Pada tahun 1923, Al Kalali menjadi tenaga pengajar di sekolah al Irsyad yang berada di Jakarta, Cirebon dan Surabaya. Pada tahun 1928 beliau diangkat menjadi editor buletin mingguan berbahasa Arab al Ahqaf yang berpusat di Surabaya. Dan pada tahun 1972, Al Kalali mendirikan Muassasah al Irsyad al Islamiyah yang berpusat di Cirebon dan beliau sendiri yang memimpin yayasan tersebut.
Pada dasarnya kamus ini telah tersusun dalam bentuk Arab-Indonesia pada permulaan tahun 1972 dengan ejaan lama. Pada waktu itu ejaan baru belum disahkan. Namun setelah hasil penyusunan kamus ini dikonsultasikan pada Lembaga Bahasa Nasional (LBN), Dra. S.W. Rudiati Muljadi menyarankan agar seluruh kata-kata Indonesia dalam kamus ini diubah ejaannya dengan ejaan baru , karena- katanya- pemerintah akan mempermaklumkan berlakunya ejaan baru itu pada tanggal 16 Agustus 1972. Akhirnya disepakati bahwa perombakan susunan kata-kata kamus Arab Indonesia ini akan dilakukan oleh bagian perkamusan LBN dan dikerjakan oleh Hermanu Maulana.
Bagian Indonesia-Arab mulai ditulis oleh penyusun mulai tahun 1972 dan selesai pengerjaannya pada akhir tahun 1975. Kata-kata Indonesia diperiksa oleh LBN dan disusun menurut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Sedang mengenai kata-kata Arabnya telah mendapatkan bantuan dari kementrian Penerangan Pemerintahan Irak dengan memberikan print out kata-kata Arab yang dilakukan oleh penyusun atas saran dari Prof.Dr. Naji Ma’ruf, seorang guru besar pada universitas Baghdad. Sementara pencetakan bahasa Indonesia (huruf latin) serta sykal (harakat) bahasa Arabnya dilakukan di Indonesia.
Dalam penyusunan kamus ini, penyusun memberikan pendahuluannya dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Ukurannya yang sedang dan ketebalannya yang hanya 598 halaman menjadikan kamus ini bersifat portable yang mudah untuk dibawah kemana-mana.
Sebagaimana lazimnya dalam kamus-kamus lain, kata-kata dalam kamus ini disusun menurut urutan alfabet. Yang menjadi patokan adalah huruf pertama dari tiap pokok kata atau kata dasar, misalnya kata “perkembangan” harus dicari dibawah kata “kembang” dalam susunan kata-kata yang dimulai dengan kata k, sebab per adalah awalan dan an adalah akhiran. Sebenarnya akhiran tidak begitu penting untuk mencari pokok kata atau kata dasar, sebab bila suatu kata ditinggalkan awalannya maka dua atau paling banyak tiga fonem berikutnya sudah merupakan pokok kata atau kata dasar.
Namun ada beberapa kasus yang perlu dikecualikan dan harus diperhatikan dalam penentuan kata dasar, misalnya kata dasar s bila dibubuhi awalan me, maka s nya hilang dan berubah menjadi ny, sehingga untuk mencari kata menyaring harus dari kata saring. Jika kata dasarnya dimulai dengan k, maka k-nya hilang dan diganti dengan ng, seperti kata mengail berasal dari kata kait. Kata-kata yang dimulai dengan huruf t, jika berawalan men maka t-nya hilang, seperti kata menari dari kata tari. Kecuali jika kata-kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa asing, maka t nya dipertahankan, seperti kata mentaati dari kata taat طاعة bahasa Arab; mentolerir dari kata tolereer dari bahasa Belanda.
Kamus ini tidak menggunakan tanda-tanda sebagaimana kamus-kamus lainnya, melainkan menggunakan singkatan-singkatan dalam kurung yang bertujuan untuk menjelaskan kata yang dimaksud. Singkatan-singkatan yang digunakan antara lain: Ar untuk Arab, Ing. untuk Inggris, E untuk Eropah, Bld untuk Belanda, Sun untuk Sunda, Jk untuk Jakarta, X yang berarti lawan kata dan Jw yang maksudnya adalah Jawa, contoh: dalam entri k ada kata kulon (jw) yang maksudnya sama dengan kata barat dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Arab berarti الغرب .
Singkatan-singkatan dalam bahasa Arab yang digunakan adalah ج berarti jamak, مف berarti mufrod (tunggal), مث berarti muannats (perempuan) dan مص yang berarti masdar.

Kamus Al Munawwir
Kamus ini termasuk kamus yang banyak pemakaiannya di Indonesia. Para santri dan pelajar menjadikannya sebagai rujukan utama. Sejak diterbitkannya kamus ini pada tahun 1984, para pelajar, santri dan peminat bahasa Arab menjadi sangat terbantu dalam belajar bahasa Arab.
Penyusun, Ahmad Warson Al Munawwir, dalam pendahuluannya yang ditulis dalam bahasa Indonesia menyebutkan dasar penyusunan kamus ini adalah semata-mata didorong oleh hasrat keinginan untuk ikut serta mengisi kekurangan akan buku-buku bahasa Arab atau buku-buku pembantu dalam mempelajari bahasa Arab, dan untuk membantu mereka yang bermaksud menggali mutiara-mutiara berharga dalam kitab-kitab berbahasa Arab.
Penyusunan kamus ini merupakan upaya pengembangan buku-buku ilmiah Pondok Pesantren “Al Munawwir” Krapyak Yogyakarta yang pelaksanaannya dilakukan oleh Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan. Walaupun proses pengadaan kamus ini hanya dibantu kemampuan peralatan yang minim dan hanya diolah sendiri oleh keluarga pesantren, namun hasilnya sungguh diluar dugaan, kamus ini bisa diperbanyak untuk memenuhi kebutuhan para pelajar, santri dan peminat.
Bila dilihat dari ukuran dan jumlah halamannya yang mencapai 1701 halaman, kamus ini termasuk jenis kamus besar yang bersifat umum. Kamus ini tidak mencantumkan daftar rujukan dalam sebuah halamannya, sehingga agak kesulitan untuk mengetahui sumber pengambilan data yang ada dalam entri. Namun menurut sumber lisan yang terpercaya, kamus ini merupakan turunan dari kamus Arab ekabahasa Al Munjid yang ditulis oleh pendeta katolik bernama Fr. Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu’i yang dicetak oleh sebuah percetakan katolik sejak tahun 1908.
Karena kamus ini merupakan turunan dari kamus al Munjid, maka entry-entry yang terkandung didalam kamus al Munawwir sesuai dengan kamus al Munjid, hanya saja bahasa penjelas kamus al Munawwir ini adalah bahasa Indonesia. Dan kalaupun ada perbedaan antara keduanya dalam beberapa hal, misalnya dari segi desain kamus, hal itu karena harus menyesuaikan dengan kondisi lokal.
Entri dalam kamus ini disusun menurut urutan akar kata, misalnya untuk mencari kata صان tidak bisa dicari dalam susunan huruf ص- ا – ن , tetapi harus dikembalikan ke asal katanya, yakni dicari dalam urutan ص – و – ن karena صان berasal dari kata صو ن . Sehingga dalam pencarian kata-kata dalam kamus ini lebih dahulu harus diperhatikan apakah kata itu semua hurufnya terdiri dari huruf asli , atau apakah ada diantaranya termasuk huruf zaid (tambahan). Jika semua hurufnya merupakan huruf asli, maka kata dicari berdasarkan permulaan dan urutan huruf-hurufnya, misalnya kata قمر akan ditemukan dalam urutan ق- م - ر dan kata شمس akan ditemukan dalam urutan ش م س. Sedangkan jika diantara huruf-hurufnya ada yang termasuk huruf zaid (tambahan), maka terlebih dahulu harus diketahui huruf-huruf aslinya dan pencarian kata menurut huruf-huruf asli tersebut, misalnya untuk mencari kata كتاب & مكتبة tidak bisa dicari dalam urutan م – ك –ت- atau ت – ا – ب , tetapi harus dicari dalam bab entri ك"” dengan urutan ك-ت-ب .
Kamus ini juga dilengkapi dengan singkatan-singkatan dan tanda-tanda untuk membantu pemakai memahami setiap entri yang ada. Tanda-tanda yang digunakan antara lain:
· (tanda asterik) yang digunakan untuk menunjukkan permulaan materi, yang berarti tanda ini digunakan untuk memisahkan satu tema materi dengan materi lainnya. Misalnya setelah menyebutkan kata حب dengan semua turunannya (المحبوب أحب, حبب, تحبب, تحاب, الحب, الحبة, الحبب, الحباب, الحبيب, الحبابة , الحبيبي, المحب,), kemudian masuk ke materi baru, misalnya الحبتر dengan turunannya ( الحبيتر, الحباتر), maka diawal kata حب dan kata الحبتر diberi tanda asterik ini.
_ yang digunakan untuk menunjukkan harakat ain fi’il mudhari’nya,
contoh: بحث --- بحثا
- (tanda hubung) yang berarti ulangan dari kata diatasnya,
Contoh: كذب ه ( menuduhnya bohong)
القول- ( menyangkal kebenarannya, mendustakan) عن أمر أراده - ( mundur)
- ا لحر (mereda)
Sedangkan mengenai singkatan-singkatan yang digunakan dalam bahasa Arab antara lain: ج untuk menunjukkan jamak, م untuk menunjukkan muannats dan دخ untuk menunjukkan bahwa kata itu berasal dari kata asing. Demikian pula dalam bahasa Indonesia juga digunakan singkatan-singkatan diantaranya: bb, bgn, dlm, mnr dll.

Kamus Kontemporer Inggris -Indonesia-Arab
Sebagaimana kamus Al Munawwir diatas, kamus kontemporer ini juga dikeluarkan oleh Pondok Psantren Krapyak Yogyakarta. Kamus Kontemporer Inggris-Arab-Indonesia diterbitkan pada tahun 2003. Kamus ini merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari kamus kontemporer (al Ashri) sebelumnya yang tersusun dalam bahasa Arab-Indonesia dan diterbitkan pada tahun 1996. Kamus kontemporer Arab-Indonesia tersebut disusun oleh Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor, sedangkan penyempurnaannya dalam kamus kontemporer Inggris-Indonesia-Arab hanya disusun oleh Atabik Ali saja.
Penyusunan kamus al Ashri Arab-Indonesia didasarkan pada pola aturan berikut ini:
§ Disusun secara alfabetis dengan tidak perlu mencari akar kata dari lafadz yang dicari. Huruf awal yang akan kita cari menjadi petunjuk langsung dimana lafadz itu berada. Misalnya untuk mencari kata متعذر (yang sulit, tidak dapat dilaksanakan), pemakai tidak perlu kembali ke asal katanya عذر / تعذر , tapi cukup melacaknya dari bab entri mim sesuai dengan huruf awal kata tersebut.
§ Arti padanan dari suatu kosa kata dihindarkan dari arti padanan yang tidak banyak digunakan lagi, sehingga kosa kata kamus ini menghindari penggunaan kosa kata klasik dan yang sering ditemui dalam kamus ini adalah kosa kata baru atau kosa kata masa kini, contoh kata حركة الأموال diterjemahkan dengan kata mobilitas keuangan atau perputaran investasi.
§ Tidak menggunakan tanda hubung (as syarthah al mumhaniyah) untuk kata yang diulang, tetapi menuliskan kata itu secara utuh, hal ini bertujuan untuk memudahkan pembaca dan menghindari kebingungan. Contoh yang terdapat dalam entri mim yaitu:
مزدوج الجهة (dua sisi)
مزدوج المهمة (dua kepentingan)
مزدوج الإتجاه (dua jalur / arah)
مزدوج السرعة (dua kali kecepatan)

§ Untuk istilah-istilah tertentu disertakan juga bahasa ‘ajamnya secara utuh dalam kurung. Contoh : غزغائية “kepandaian menghasut rakyat” dalam kurung ditulis ( demagogisme). فاتحة موسقية “musik pembuka” dalam kurung ditulis (prelude)
§ Menyertakan gambar untuk kata-kata yang sulit dijelaskan selain menggunakan gambar. Contoh: مزلاج (kunci, gerende), مزلجة مائية (sepatu roda / ski air), جزمة (sepatu bot, panjang sampai mata kaki)
§ Secara umum tidak mencantumkan al ta’rif kecuali beberapa kata yang penulisannya menjadi berubah jika disitu dituliskan al ta’rif. Contoh:عال – العالى
§ Alif maqshurah, alif mamduhah dan hamzah dipersamakan dengan alif biasa, sehingga tidak mempengaruhi urutan penulisan, contoh kata جزى terletak sebelum kata جزاء tidak setelah kata جزية , جزيل dll.
§ Penggunaan tanda kurung difungsikan untuk: memperjelas penggunaan kata, menunjukkan bahasa asli, menunjukkan disiplin ilmu tertentu dan menunjukkan macam (jenis).
Sebagai perkembangan dari kamus Kontemporer Arab-Indonesia ini adalah kamus Kontemporer Inggris -Indonesia-Arab yang keberadaannya demi untuk memenuhi tuntutan perkembangan zaman yang memasuki era globalisasi, dimana bahasa Inggris telah menjadi bahasa dunia dan diakui disemua negara di dunia.
Kamus ini mendapat kehormatan dari menteri agama waktu itu, Prof. Dr. H. Said Aqil Husen Al Munawwar,MA yang telah memberikan kata sambutannya dalam penerbitan kamus tersebut. Dalam sambutannya beliau menyatakan bahwa kita adalah satu keluarga dalam satu dunia, oleh karenanya proses saling mengenal, mengerti dan memahami adalah hal yang sangat penting. Bahasa bukan hanya sarana bagi mengenal dunia dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, melainkan juga alat yang sangat penting bagi upaya menciptakan semangat global yang aman dan damai.
Kamus ini disusun secara alfabetis dengan huruf latin karena bahasa entri yang digunakan adalah bahasa Inggris, kemudia ditengah adalah bahasa Indonesia dan terakhir adalah bahasa Arab. Kata-kata bahasa Inggris dicetak dalam huruf tebal, hal ini untuk memperjelas perbedaan tulisan Inggris dengan Indonesia. Disebutkan juga kata musytaraknya dengan dibubuhi tanda koma ( , ) baik dalam kata-kata bahasa Indonesia, Inggris maupun Arabnya. Dan berbeda dengan kamus-kamus bahasa Inggris lainnya, kamus ini tidak disertai dengan ejaan, namun disebutkan jenis kata dalam singkatan untuk bahasa Inggris, n yang berarti noun (kata benda), v berarti verb (kata kerja) dan a berarti adjective (kata sifat), Contoh:
Allocation,n. alokasi, jatah dari pemerintah, alokasi dana. تحصيص, تحصيص من الحكومة
Bereave,v. menghilangkan, merasa kehilangan. أفقد, فقد
Clubby,a. baik pergaulannya, ramah. حسن العشرة, أنيس
Seniority. Keadaan lebih tua, kesenioran, أقدمية. قدمة

Masa Kemajuan (Kamus Berbasis Teknologi)
Masa kemajuan teknologi menuntut terciptanya kamus yang dikemas dengan teknologi yang canggih, diera komputer dan internet ini muncul berbagai ragam kamus dengan berbasis komputer dan web. Kamus berbasis komputer membantu pemakai untuk mencari kata-kata asing dengan mudah, misalnya pemakai tinggal mengetik kata yang dikehendaki, secara otomatis makna kata yang dikehendaki oleh pemakai akan tampil dilayar komputer.
Penggunaan kamus yang mudah dan dapat diakses secara cepat dari tempat mana saja melatarbelakangi pembuatan kamus bahasa Arab-Indonesia dengan berbasis web. Dengan begitu, aplikasi dapat dimanfaatkan umat Islam Indonesia secara luas tanpa terlebih dahulu meng-install program aplikasi tertentu atau sistem operasi tertentu.
Diantara kamus-kamus yang memanfaatkan kecanggihan teknologi berbasi komputer dan web ini antara lain:
Ø kamus al Mufid yang merupakan program kamus Arab Indonesia- Indonesia Arab untuk sistem operasi windows, program ini dapat dijalankan dalam operasi windows XP dan windows 2000, program ini tidak bisa dijalankan dalam windows 95, windows 98 dan windows ME karena menggunakan aplikasi berbasis unicode.
Ø Kamus on line berbasis web, kamus ini menggunakan bahasa Indonesia yang dipublikasikan oleh Ilmu Komputer. Com pada Januari 2004 dengan format file PDF
Ø Kamus bahasa Arab dengan CMS Joomla, kamus ini menampilkan random kosa kata yang diambilkan dari kosa kata yang terdapat didalamnya secara acak. Dengan sering melihat random kosa kata ini akan membantu memperkaya kosa kata bahasa Arab-Inggris pemakai.


Kesimpulan
Perkembangan perkamusan (leksikologi) di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan bahasa Arab di Indonesia dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin mempelajari Islam, kedudukan kamus disini sebagai alat bantu untuk belajar bahasa Arab.
Perkembangan kamus ini dimulai ketika para pelajar dari Indonesia menimba ilmu di Timur Tengah, dan keadaannya terus mengalami perkembangan hingga masa kini.




















Daftar Pustaka

Al Kalali, Asad, Kamus Indonesia-Arab, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. VI, 1995
Ali, Atabik, Kamus Kontemporer Inggris-Indonesia-Arab, Multi Karya Grafindo, Yogyakarta, 2003

Ali, Atabik ., Muhdlor, Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, 1996

Yunus, Mahmud , Prof. Dr. Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, Hidakarya Agung, Jakarta, 2006

Keraf, Gorys, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta, Gramedia Pustaka Utam, cet VIII.

KBBI, ed III, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2002

Mukhtar Umar, Ahmad , Al Bahts al Lughawy ‘nd al-‘Arab, ‘Alam al Kutub, Kairo, 1978,
Mu’in, Abdul, Analisi Kontrastif Bahasa Arab & Bahasa Indonesia, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2004

Munawwir, A.W. , Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, Yogyakarta, 1984

Shadik, Hamid, Qatibi, Dr., Al Ma’aajim wal mustalahat mabahits fi al mushtalahati wa al ma’aajimi wa at ta’riib, ad Dar as Su’udiyah, Jedah, 2000

Thahir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Yunus, Mahmud, Prof. Dr. , Kamus Arab-Indonesia, Hidayah Karya Agung, Jakarta, 1972 M

ENSIKLOPEDI ISLAM INDONESIA, IAIN Syahid, Djambatan, 1992
http://salafy.wordpress.com/2007/03/13
http://sejarahmalaysia.pnm.my/portalBM/detail.php
http://www.mail-archive.com/majelismuda@yahoogroups.com/msg01757.html
http://www.anu.edu.au/asianstudies/ahcen/proudfoot/mmp/darwis/A.gif
http://www.emedia.com.my/Misc/DBP/Artikel/Berita/20050609135632
http://muslim.or.id//
"http://ikc.cbn.net.id/penulis/penulis-anny.php"
http:// ms.wikipedia.org/wiki/kamus
[1] KBBI, ed III, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 499

[2] الدكتور حامد صادق قتيبي, ( المعاجم و المصطلحات) مباحث فى المصطلحات و المعاجم و التعريب, الدار السعودية, جدة, 1287 ه / 2000 م, ص 250


[3] Lihat Ahmad Mukhtar Umar, Al Bahts al Lughawy ‘nd al-‘Arab, ‘Alam al Kutub, Kairo, 1978, hal. 117-119
[4] Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta, Gramedia Pustaka Utam, cet VIII. Hal 44
[5] http:// ms.wikipedia.org/wiki/kamus
[6] Ajid Thahir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 290
[7] Abdul Mu’in, Analisi Kontrastif Bahasa Arab & Bahasa Indonesia, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2004, hal 41.
[8] KBBI, hal. xxi
[9] Al Marbawi, 1928. ف
[10] Lihat ENSIKLOPEDI ISLAM INDONESIA, IAIN Syahid, Djambatan, 1992
[11] Prof. Dr. Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, Hidakarya Agung, Jakarta, 2006, hal.86