Wednesday, November 26, 2008

BUKU PELAJARAN DAN PERANANNYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

Oleh: Hasanudin, MA

Buku pelajaran dalam sistem persekolahan merupakan sebuah benda yang sudah lazim dikenal sejak dulu. Ia merupakan alat bantu bagi guru dalam melaksanakan tugasnya di kelas. Bahkan, ketika penulis sekolah di tingkat dasar dan menengah pertama, jika guru ada keperluan dan tidak bisa melaksanakan tugasnya di kelas, cukup dengan menitipkan buku untuk dicatat. Sekarangpun, hal seperti itu penulis kira masih banyak terjadi di sekolah-sekolah kita. Permasalahannya, dari dulu kala sampai sekarang pemanfaatan buku pelajaran masih sebagai pengganti guru. Pada era dimana paradigma pembelajaran beralih dari teaching kepada learning, maka peran buku pelajaran tidak hanya sebagai pengganti guru di kelas, tetapi sebagai partner guru dalam membelajarkan siswa di kelas maupun di luar kelas ?
Buku pelajaran memang memiliki peran yang penting dalam pembelajaran pada sistem persekolahan. Studi yang dilakukan oleh World Bank di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku pelajaran berakorelasi dengan prestasi belajarnya.[1]kemudian studi yang dilakukan oleh Heyneman dan kawan-kawan melaporkan bahwa dari 18 korelasi yang dihitung 83 % diantaranya secara signifikan menunjukkan kuatnya hubungan antara buku pelajaran dengan prestasi belajar siswa.[2] Hal ini dapat dimengerti, karena menurut Patrick, buku teks, khususnya buku pelajaran, merupakan media instruksional yang dominan peranannya di kelas.[3]Selain itu karena buku pelajaran merupakan alat untuk menyampaikan materi kurikulum, maka ia menduduki peranan sentral pada semua tingkat pendidikan.
Alan Cunningswort,[4] seorang ahli pengajaran bahasa dari Oxford menguatkan penjelasan di atas. Ia mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang pengaruhnya lebih besar terhadap isi dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran selain buku pelajaran dan bahan ajar lainnya yang digunakan.[5]
Buku pelajaran memainkan peran utama dalam pengajaran bahasa di kelas pada semua jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta, sekolah menengah maupun perguruan tinggi, di seluruh dunia. Guru bebas memilih buku pelajaran yang akan mereka gunakan. Hampir setiap guru, jika tidak semua, mempunyai buku pelajaran baik karena disarankan kepada mereka maupun karena keperluan mereka dalam dunia pengajaran.
Guru menggunakan buku pelajaran karena ia memiliki beberapa fungsi. Sheldon mengajukan tiga alasan utama yang diyakininya mengenai penggunaan buku pelajaran oleh para guru. Pertama, karena mengembangkan materi ajar sendiri sangat sulit dan berat bagi guru. Kedua, guru mempunyai waktu yang terbatas untuk mengembangkan materi baru karena sifat dari profesinya itu. Ketiga, adanya tekanan eksternal yang menekan banyak guru [6]. Ketiga alasan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh guru dalam memilih buku.
Penggunaan buku pelajaran merupakan cara yang paling efisien karena waktu untuk mempersiapkan bahan ajar berkurang. Di samping itu, buku menyediakan aktivitas yang sudah siap untuk dilaksanakan dan membekali siswa dengan contoh konkrit.
Alasan lain bagi penggunaan buku pelajaran ialah karena buku pelajaran merupakan kerangka kerja yang mengatur dan menjadwalkan waktu kegiatan program pengajaran; di mata siswa, tidak ada buku pelajaran berarti tidak ada tujuan; tanpa buku pelajaran, siswa mengira bahwa mereka tidak ditangani secara serius; dalam banyak situasi, buku pelajaran dapat berperan sebagai silabus; buku pelajaran menyediakan teks pengajaran dan tugas pembelajaran yang siap pakai; buku pelajaran merupakan cara yang paling mudah untuk menyediakan bahan pembelajaran; siswa tidak mempunyai fokus yang jelas tanpa adanya buku pelajaran dan ketergantungan pada guru menjadi tinggi; dan bagi guru baru yang kurang berpengalaman, buku pelajaran berarti keamanan, petunjuk, dan bantuan[7].
Alasan penggunaan buku pelajaran seperti ini hanya berlaku jika: 1) buku pelajaran memenuhi kebutuhan guru dan siswa, 2) topik-topik dalam buku pelajaran relevan dan menarik bagi guru dan siswa, 3) buku pelajaran tidak membatasi kreativitas guru, 4) buku pelajaran disusun dengan realistik dan memperhitungkan situasi belajar-mengajar di kelas, 5) buku pelajaran beradaptasi dengan gaya belajar siswa, dan 6) buku pelajaran tidak menjadikan guru sebagai budak dan pelayan.
Apabila aspek-aspek ini tidak dipenuhi, maka buku pelajaran hanya akan menjadi masses of rubbish skillfully marketed, seperti diungkapkan oleh Brumfit,[8] yang hanya akan menguntungkan secara materi bagi pihak-pihak yang dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi membisniskan buku teks, dan mencemari dunia pendidikan. Dalam hal seperti ini, sebaiknya guru dibekali dengan pengetahuan bagaimana memilih buku pelajaran dan bagaimana mengaplikasi-kannya secara kreatif di kelas.
Adanya perubahan pendekatan pembelajaran dari teacher centered, berimplikasi pada perubahan peran dan dominasi guru didalam kegiatan di kelas. Hubungan antara guru dan siswa yang satu arah, sehingga guru melakukan banyak hal dan siswa berperan kurang aktif tidak cocok lagi. Peran guru hendaknya sebagai fasilitator bagi siswa untuk belajar. Dalam hal ini maka guru harus bersedia mensubordinasikan perilaku dirinya sendiri terhadap kebutuhan siswa. Jadi yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran di kelas adalah memotivasi siswa untuk menjadi aktif belajar. Paradigma baru ini mengokohkan peran buku dalam pembelajaran. Pada keadaan yang demikian buku pelajaran memegang peranan. Buku pelajaran menjadi bahan yang amat strategis bagi siswa dan guru, karena ia dapat digunakan sebagai acuan bagi guru dan siswa untuk mencapai tujuan-tujuan kurikulum.
Karena kegiatan guru adalah memotivasi siswa, menurut Soenjono Dardjowidjojo maka materi dalam buku pelajaran bahasa harus disesuaikan. Kebiasaan yang berkutat pada materi untuk mendengarkan, mengulang dan menghafal harus ditinggalkan. Materi buku pelajaran bahasa harus diubah menjadi aktivitas yang membuat siswa melakukan tugas untuk memecahkan masalah.Tipe materi yang cocok untuk buku pelajaran seperti ini menurut Soenjono Dardjowidjojo adalah materi yang task based[9] dan problem solving[10]. Materi dengan tipe seperti ini akan dapat mengembangkan penggunaan bahasa (language use) dan bukan hanya pemakaian bahasa (language usage).[11]
Jika penjelasan di atas memberitahukan kepada kita tentang bagaimana sebuah buku pelajaran dapat menggantikan peran guru sebagai sumber belajar, Wojowasito bahkan menyatakan bahwa materi pelajaran dapat memotivasi siswa dalam belajar. Motivasi siswa dalam belajar bahasa bisa berpangkal pada bahan pelajaran itu sendiri. Jadi selain berfungsi sebagai sumber bahan ajar, buku pelajaran dapat dijadikan sebagai media untuk membangkitkan motivasi siswa. Tentu saja jika buku pelajaran itu memiliki arti yang penuh bagi siswa. Maksudnya adalah bahwa materi yang ada dalam buku pelajaran itu dihubungkan erat dengan realitas. Dengan demikian siswa dapat menyadari bahwa susah payahnya tidak sia-sia dan akan membawa hasil yang dapat dirasakan yang dapat membawa mereka lebih maju dalam kehidupan.[12]
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa buku memegang peranan sebagai guru kedua bagi siswa. Selain itu, buku juga dapat dijadikan sebagai media untuk memotivasi siswa dalam belajar. Selama ini peran untuk memotivasi siswa didominasi oleh guru dan media audio visual, sedangkan buku hanya diposisikan sebagai sumber belajar kedua setelah guru. Bahkan pada situasi-situasi tertentu, dimana penguasaan guru terhadap materi pelajaran yang mumpuni, peran buku sangat rendah dalam proses belajar mengajar. Buku hanya diposisikan sebagai alat bantu guru bila ia diperlukan.
Selain buku berfungsi sebagai media instruksional yang berperan di kelas, sesungguhnya ia juga berperan dominan pada pembelajaran di luar ruang kelas, karena pembelajaran tidak terbatas di ruang kelas, tetapi juga dapat dilaksanakan di luar ruang kelas. Pembelajaran seperti inilah yang diharapkan untuk mengatasi terbatasnya jumlah jam yang disediakan untuk proses pembelajaran di kelas dan untuk mengurangi ketergantungan siswa kepada guru, serta memupuk kemandirian dalam belajar, sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dan kreatif.[13]Pemenuhan kebutuhan siswa oleh buku pelajaran sangat sulit diwujudkan jika penyusunan buku pelajaran dilakukan secara nasional. Karena buku pelajaran bersifat sangat lokal, jadi sebaiknya disusun oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan (bisa juga disusun bersama oleh MGMP provinsi atau kab/kota), dengan melihat potensi dan kebutuhan siswa serta sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah dimana buku pelajaran tersebut akan digunakan. Dengan demikian, setiap guru harus dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk menyusun buku pelajaran yang baik, efektif dan efisien. Semangat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang memberdayakan guru untuk menentukan kurikulum dan materi pelajaran pada Tingkat Satuan Pendidikannya sendiri, memberi jalan kepada guru untuk menunjukkan kreativitasnya dalam menyusun buku pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Selamat belajar.......
_____________________________________________
[1] World Bank, Indonesia: Basic Education Study, (Washington DC: World Bank, 1989)
[2] S.P. Heyneman, J, Farrel, dan M. Sepulvedo Stuarto, Textbook and Achievment:Wahat we Know, (dalam Journal of Curriculum 13:3 tahun 1981.)
[3] J.J Patrick, Highschool Governement Textbook, (dalam ERIC DIGEST ED301532, Desember 1988).
[4] Alan Cunningsworth, Choosing Your Coursbook, (Oxford:Heineman, 1995) hal. 3-4.
[5] Alan Cunningsworth, Choosing Your Coursbook, … hal. 22
[6] Sheldon, The Elaboration of School Textbooks: Methodological Guide. (UNESCO: 2001) h.2

[7] Hasan Ansary and Esmat Babaii: A Step Toward Systematic Textbook Evaluation. (Iran: Shiraz University, 2002) h. 2

[8] Hasan Ansary and Esmat Babaii: ....
[9] Dalam proses pembelajaran Mosston menyebutnya dengan task style, yaitu sebuah model pembelajaran yang perencanaannya tetap dilakukan guru secara penuh tanpa mlibatkan siswa sama sekali, perancangan pelaksanaan pembelajaran juga dilakukan oleh guru, nam un pelaksanaan proses pembelajaran sepenuhnya oleh siswa, akan tetapi , ketika dalam proses evaluasi diakhir waktu belajar, kembali menjadi otoritas guru. (Muska Mosston, Teaching from Command to Discovery, (California: Wadsworth Publishing Company, 1972) hal. 45-46.
[10] Rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. (Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006) hal. 212.)
[11] Katharina E. Soekamto (penyunting), Rampai Bahasa, Pendidikan, dan Budaya; Kumpulan Esai Soenjono Dardjowidjojo,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003) hal. 100. Menurut Wilikins, Penggunaan bahasa tidak berarti meninggalkan tata bahasa tetapi mengubah keseimbangan prioritas dengan menekankan fungsi dan makna bahasa (D.A. Wilkins, An Investigation into the Linguistic and Situational Content of the Common Core in a Unit/Credit System, (Strassbourgh:Council of Euorope, 1972) hal. 83)
[12] S. Wojowasito, Perkembangan Ilmu Bahasa; Linguistik Abad 20 Sebagai Dasar Pengajaran Bahasa, (Bandung: Shinta Darma, 1976) hal. 106
[13] Hal ini sesuai dengan prinsip pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau Standar Isi yang diantaranya adalah bahwa kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (DEPAG RI, Standar Isi Madrasah Aliyah, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2006) hal. 4)

1 comment:

Anonymous said...

syukron ala kulli syai', mabruk ala wujud BLOGuna al-Mumtazah...
ehya ana aro ahsan an nuzid bi al-maklumat al-syakhsiyat likulli a'dha ina...
tulisan antum mang yahuuud...ntar ana posting tulisan ana key....