Saturday, February 28, 2009

Problematika Makna dan Penerjemahan

Oleh: Umar Manshur, SS., MA. [1]
Pendahuluan
Bahasa sebagai sebuah sistem alat komunikasi untuk menyampaikan keinginan, telah memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Melalui bahasa pula segala informasi atau pesan dapat dipahami dan disampaikan. Oleh karena itu, bagi orang yang ingin mendapatkan informasi melalui suatu bahasa yang tidak dia pahami maka orang tersebut membutuhkan terjemahan dari bahasa tersebut.
Kata penerjemahan secara etimologis merupakan kata yang diserap dari kata bahasa Arab yang berarti memindahkan, menafsirkan, atau menjelaskan[2]. Sedangkan secara terminologis, beberapa pakar menyatakan sebagai pengalihan arti dan pesan dari suatu bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran[3].
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam proses penerjemahan makna adalah salah satu unsur yang harus dipindahkan. Seorang penerjemah harus mampu memindahkan makna (isi) dengan baik, agar mudah diterima dan dipahami oleh pembacanya. Pemindahan makna dari bahasa sumber, dan mencarikan padanan yang tepat dalam bahasa sasaran bukan hal yang mudah. Karena itulah Ahmad Mukhtar Umar mengatakan bahwa permasalahan mendasar dalam proses penerjemahan adalah mencari padanan makna yang tepat untuk suatu kata dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Hal ini mengharuskan adanya kesesuaian kedua bahasa pada tataran tata bahasa, sosial, budaya,…. Dan ini sangat tidak mungkin[4].
Macam-macam Makna
Jika makna mendapat prioritas utama dalam proses penerjemahan, maka dalam hal ini perlu kiranya terlebih dahulu dipahami beberapa hal yang terkait dengan makna bahasa yang akan diterjemahkan, yaitu:
1. Makna Leksikal
Makna leksikal (makna asâsiyyah atau mu‘jamiyyah, atau juga makna denotatif) dapat diartikan sebagai makna kata secara lepas diluar konteks kalimatnya. Makna leksikal ini terutama yang berupa kata dalam kamus biasanya menjadi makna pertama dari kata atau entri yang terdaftar dalam kamus tersebut[5].
Berdasarkan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa makna leksikal, adalah arti dasar yaitu makna yang menjadi substansi kebahasaan yang menjadi akar dari segala derivasi yang digunakan dalam struktur kalimat. Seperti kata “ قرأ ” berarti aktifitas menghimpun informasi, membaca, meneliti, mencermati, menelaah, dan sebagainya[6].
Dalam bahasa Arab, misalnya kata “رأس (kepala)” makna leksikalnya adalah “bagian tubuh dari leher keatas untuk manusia dan dari leher kedepan untuk binatang”, sedang makna “awal” atau “permulaan” bukanlah makna leksikal, sebab untuk menyatakan makna “awal” atau “permulaan”, kata “رأس” itu harus bergabung dengan unsur lain, seperti dalam frase “رأس الشهر (awal bulan)” atau “رأس العام (awal tahun)”.
2. Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai hasil suatu proses gramatikal. Dan dalam bahasa Arab dikenal dua bentuk gramatikal yaitu Sintaksis (Nahw) dan Morfologi (Sharf).
Dalam sintaksis Arab dikenal sebuah istilah yang disebut dengan i‘râb. Kedudukan i‘râb mempunyai peranan penting dalam menentukan kejelasan suatu makna. Seperti kalimat أكرم محمد عليا mempunyai makna khusus, ketika kedudukan i‘râbnya dirubah -dengan merubah fa‘il menjadi maf‘ul dan maf‘ul menjadi fa‘il- maka makna yang dikandung oleh kalimat tersebut juga bisa berubah.
Kaidah-kaidah sintaksis telah memberikan peranan yang penting untuk menjelaskan makna dalam bahasa Arab, oleh karena itulah al-Suyûthî mengatakan bahwa penggunaan i‘râb dalam bahasa Arab adalah untuk menghilangkan kekaburan makna[7].
Dalam morfologi Arab, cara pembentukan struktur dan bentuk derivasi kebahasaan juga mempunyai peranan penting dalam pembentukan suatu makna. Semua bentuk kata kerja (mâdhî, mudhâri‘, dan amar) adalah untuk menunjukkan suatu kejadian dan waktunya. Dan segala bentuk penambahan huruf (afiksasi; bentuk prefiks/al-sâbiqah, infiks/al-dâkhilah, sufiks/al-lâhiqah, dan superfiks/al-‘aliyah), reduplikasi (tadh‘îf), emphasis (taukîd) dan lain-lain yang terkait dengan kata kerja mempunyai pengaruh penting dalam memberikan makna[8].
3. Makna Kontekstual
Makna kontekstual adalah makna yang diperoleh dari lingkungan kebahasaan yang melingkupi sebuah kata, ungkapan atau kalimat. Makna kontekstual ini juga berlandaskan pada kondisi sosial, situasi atau tempat serta keadaan dan kesempatan dimana kata atau kalimat itu diucapkan dengan segala unsurnya, baik dari pembicara ataupun pendengar[9]. Karena itulah banyak pakar mengatakan bahwa sebuah kata baru dapat ditentukan maknanya, apabila kata itu telah berada dalam konteks kalimatnya.
Makna sebuah kalimat sering tidak tergantung pada sistem gramatikal leksikal saja, tetapi bergantung pada kaidah wacana. Makna sebuah kalimat yang baik pilihan katanya dan susunannya sering tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya dengan kalimat lain dalam sebuah wacana. Contoh pemahaman ekspresi “terima kasih” bermakna “tidak mau” dalam situasi jamuan makan[10].
Misalnya lagi kata امرأة atau kata perempuan, selain bermakna denotative kata itu mempunyai makna-makna lain sesuai latar budaya penuturnya.. misalnya “dasar perempuan” bisa bermakna cengeng, cerewet, dan lain-lain. Begitu juga makna kata ‘يهودي’, kata ini selain bermakna denotative juga bermakna “tamak, rakus, bakhil, suka makar dan menipu”[11]. Karena itulah konteks kalimat terbagi menjadi empat, yaitu:
a. Konteks kebahasaan (linguistic context/al-siyâq al-lughawî)
Yang dimaksud konteks kebahasaan adalah kumpulan suara, kata-kata, dan kalimat yang dapat mengantarkan pada suatu makna tertentu, atau seluruh keadaan, kondisi, dan unsur-unsur kebahasaan yang melingkupi sebuah kata.
Hal ini bisa dicontohkan dengan kata “حسن” dalam bahasa Arab yang berada dalam berbagai macam konteks kebahasaan dapat mempunyai berbagai macam makna. Apabila kata “حسن” berada dalam konteks kebahasaan yang beriringan dengan kata “رجل (seorang laki-laki)”, maka makna yang dimaksud adalah dari sisi keagungan akhlaknya. Jika kata “حسن” berada dalam konteks sebagai sifat dari “طبيب (seorang dokter)”, maka makna yang dimaksud adalah prestasi kerjanya (bukan keagungan akhlaknya). Atau jika kata “حسن” ini menjadi sifat dari “هواء (udara)”, maka makna yang dimaksud adalah kebersihan dan kesegarannya[12].
b. Konteks emosional (emotional context/al-siyâq al-‘âthifî)
Yang dimaksud konteks emosional adalah kumpulan perasaan dan interaksi yang kandung oleh makna kata-kata, dan hal ini terkait dengan sikap pembicara dan situasi pembicaraan[13]. Sementara makna emosional yang dikandung oleh kata-kata itu berbeda-beda kadar kekuatannya, ada yang lemah, ada yang sedang, dan ada yang kuat. Seperti emosi yang dibawa oleh kata يكره berbeda dengan emosi yang dibawa oleh kata يبغض walaupun sama-sama bermakna membenci, akan tetapi perasaan benci yang dikandung oleh kata يكره lebih kuat dari pada perasaan benci yang dikandung oleh kata يبغض . Demikian juga kataاغتال dan قتل yang sama-sama bermakna membunuh, akan tetapi kata اغتال lebih merupakan sebuah ungkapan kekerasan dan keganasan dalam membunuh, dan biasanya lebih bersifat politis[14].
c. Konteks situasional (situational context/siyâq al-mauqif)
Yang dimaksud dengan konteks situasional adalah situasi eksternal yang mungkin bisa dikandung oleh makna sebuah kata, dan hal itu menuntut untuk mempunyai makna tertentu. Seperti penggunaan kata يرحم yang diungkapkan ketika ada orang yang bersin, maka ungkapan yang digunakan adalah يرحمك الله , yaitu dimulai dengan fi‘il (kata kerja). Sementara ketika berada dalam situasi mengucapkan bela sungkawa, maka ungkapan yang diucapkan adalah الله يرحمه , yaitu dimulai dengan isim (kata benda). Ungkapan yang pertama adalah bermakna memohon rahmat di dunia, sementara ungkapan yang kedua adalah bermakna memohon rahmat di akhirat. Dan yang menunjukkan munculnya kedua macam makna di atas adalah konteks situasi[15].
d. Konteks kultural (cultural contex/al-siyâq al-tsaqâfî)
Yang dimaksud konteks kultural adalah nilai-nilai kultural dan sosial yang kandung oleh sebuah kata atau kalimat, hal ini terkait dengan kebudayaan dan masyarakat tertentu. Karena itulah, perbedaan lingkungan budaya pada suatu masyarakat akan mengakibatkan perbedaan makna kalimat pada lingkungan budaya masyarakat yang lain[16]. Seperti kata الجذر yang dipakai oleh ahli bahasa bermakna akar kata/pokok kata, sementara menurut para petani bermakna akar tumbuhan, sedangkan menurut ahli matematika adalah bermakna akar bilangan/tanda akar. Makna yang seperti ini juga bisa dijumpai pada pribahasa, seperti: قبل الرماء تملأ الكنائن yang dalam bahasa Indonesia dapat bermakna “sedia payung sebelum hujan” bukan “sebelum pergi memanah tempat panah diisi penuh”. Perbedaan makna seperti ini disebabkan oleh perbedaan budaya Arab dengan budaya Indonesia.
Berdasarkan pada pembahasan tentang makna di atas dapat dikatakan bahwa tugas penerjemah adalah mencari padanan makna yang tepat dan sesuai dengan tuntutan, bukan sekedar mengambil makna begitu saja dari kamus. Akan tetapi ia harus merupakan hasil pilihan yang tepat dan sepadan dengan struktur gramatikal, situasi pembicaraan dan konteks budayanya[17].
Problematika Penerjemahan
Seorang penerjemah pasti akan menghadapi problematika dalam mencari padanan makna dari suatu kata. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari karena tidak mungkin terdapat kesesuaian antara dua bahasa dalam aspek kebahasaan dan non-kebahasaan.[18] Dengan artian bahwa problematika makna yang dihadapi seorang penerjemah muncul akibat perbedaan sistem, baik sistem morfologis, sintaksis dan semantik yang terdapat antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dan untuk memperjelas problematika makna yang dihadapi oleh seorang penerjemah tentang perbedaan -baik dari aspek kebahasaan ataupun non kebahasaan- antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, maka perlu kiranya dijelaskan beberapa hal, yaitu:
1. Perbedaan Cakupan Makna
Perbedaan ini disebabkan karena satu kata dalam suatu bahasa memiliki lebih dari satu makna, sementara padanannya dalam bahasa yang lain hanya memiliki satu makna. Dalam tingkatan kata semacam ini, kata-kata tersebut mencakup beberapa padanan yang dianggap potensial.[19] Contoh:
- Kata ( طويل ) dalam bahasa Arab, dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan kata panjang, seperti: طويل الأجل – panjang masanya. Juga dapat diartikan dengan tinggi, seperti: الرجل طويل – Orang itu tinggi.
- Kata (مكتبة ) dapat diartikan Perpustakaan, Toko Buku atau Koleksi buku.
2. Perbedaan Penggunaan
Perbedaan ini karena dua kata yang dianggap sepadan dalam dua bahasa ternyata berbaeda dalam berbagai macam penggunaannya. Seperti:
- kata poor padanannya dalam bahasa Arab (فقير )
Kata poor bisa digunakan untuk: poor man, poor boy, poor box, poor opinion, atau poor health, akan tetapi kata (فقير ) sebagai padanannya dalam bahasa Arab hanya dapat digunakan dalam konteks pertama رجل فقير, sementara pada konteks lain kita tidak mungkin menggunakan kata (فقير ).
- Kata cut padananya dalam bahawa Arab (يقطع )
Kata cut juga bisa digunakan untuk finger, speech, cheese, hair, atau flowers. Sementara padanannya (يقطع ) tidak dapat digunakan pada semua konteks tadi. Akan tetapi, جرح إصبعه، قطع حديثه، قطع الجبن، قص الشعر، قطف الأزهار .
3. Perbedaan dalam Penggunaan Majas
Setiap bahasa tidak sama dalam penggunaan majas, karena itulah jika ada majas dalam suatu kaliamat maka tidak dapat diterjemahkan secara harfiah, contoh:
- Dalam bahasa Inggris, evening of life adalah majas yang berarti usia tua (masa senja), jika kita terjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Arab dengan (مساء العمر) tentu salah dalam pandangan orang Arab. Karena mereka mengungkapkannya dengan (خريف العمر).
- Kata soup sepadan dengan (حساء) dalam bahasa Arab. Namun ungkapan in the soup adalah majas yang berarti berada dalam kesusahan (masalah), jika kita terjemahkan secara harfiah ke bahasa Arab dengan (في حساء) tentunya sangat lucu, karena akan jauh dari makna yang dimaksud yaitu (في مأزق، في مشكلة).
Ungkapan-ungkapan majas dalam suatu bahasa biasanya sangat terkait dengan kultur sosial dan budayanya, oleh karena itu terkadang sangat sulit untuk dipahami dan diterjemahkan ke bahasa yang lain.
4. Perbedaan Medan Makna (semantic field)
Medan makna (semantic field) adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya, nama-nama warna, dingin, panas, perabot rumah tangga, atau perkerabatan[20]. Namun banyaknya unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa yang satu dengan bahasa lain tidak sama besarnya, karena hal itu sangat berkaitan dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa tersebut. Contoh:
- Perbedaan dalam medan makna warna, dalam bahasa Inggris terdapat sepuluh warna dasar, yaitu white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey[21]. Sedangkan bahasa lain hanya mengenal warna cerah dan warna gelap, atau hanya mengenal empat warna, yaitu merah, kuning, hijau, dan biru[22].
Perbedaan dalam hal ini menimbulkan permasalahan bagi seorang penerjemah dalam mencari padanan. Hal ini bisa karena padanan suatu kata tidak dapat memberikan makna yang tepat dari kata dalam bahasa sumber, atau tidak terdapat padanan kata pada bahasa sasaran.
5. Perbedaan kultur sosial dan budaya
. Bahasa berkaitan erat dengan adat, budaya, dan lingkungan sosialnya. Keterkaitan ini menimbulkan beragam makna yang sulit ditemukan padanannya dalam bahasa sasaran, karena perbedaan kultur sosial dan budaya antara dua bahasa. Umpamanya, karena masyarakat Indonesia berbudaya makan nasi, maka dalam bahasa Indonesia ada kata yang menyatakan padi, gabah, beras, dan nasi. Sementara di Inggris atau Arab tidak terdapat keempat konsep tadi, karena orang Inggris atau Arab tidak berbudaya makan nasi, mereka hanya mempunyai kata rice atau الرز . Begitu juga sebaliknya, karena masyarakat Arab berbudaya makan kurma, dalam bahasa Arab ada kata البلح, الرطب, dan التمر. Sementara di Indonesia tidak terdapat keempat konsep tadi, karena orang Indonesia tidak berbudaya makan kurma.
Pengaruh kultur sosial dan budaya terhadap bahasa dapat kita lihat juga melalui medan makna yang terdapat dalam suatu bahasa, contoh kata-kata yang berarti tempat duduk (bahasa Inggris), kata-kata yang berarti unta (bahasa Arab)[23]. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bahasa inggris terdapat: chair, bench, stool, sofa, love seat, atau pew. Setiap kata ini memiliki makna berbeda dengan yang lain. Hal ini mustahil dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Begitu juga dalam bahasa Arab ada kata جمل, إبل, جذعة, حقة, بنت لبون dan بنت مخاض. Dan hal ini juga mustahil dicari padanannya dalam bahasa Inggris atau Indonesia.
Makna-makna seperti ini sangat sulit dicarikan padanannya, karena setiap masing-masing bahasa memiliki kultur sosial dan budaya yang berbeda. Jika terdapat kesamaan atau kedekatan kultur sosial dan budaya antara dua bahasa, makna-makna tadi mungkin dapat diterjemahkan. Namun apabila kedua bahasa berlainan kultur sosial dan budaya, makna-makna tersebut pasti akan menimbulkan permasalahan bagi seorang penerjemah.
Penutup
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa problematika-problematika yang dihadapi seorang penerjemah terjadi karena perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran baik dalam aspek kebahasaan maupun non-kebahasaan.
Untuk menyikapi permasalahan ini, seorang penerjemah diharapkan bisa memahami perbedaan karakteristik bahasa sumber dan bahasa sasaran. Disamping itu seorang penerjemah dituntut memiliki kemampuan dasar tentang ragam dan cara penerjemahan, juga memahami berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Hal itu diperlukan agar hasil terjemahannya tepat, tidak menyimpang dari tujuan teks asli, dan bermanfaat bagi pembaca.

Daftar Pustaka
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta, cet. 2, 2003.
--------, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta: Rineka Cipta,cet. I, 2003.
al-Dâyah, Fâyiz, ‘Ilm al-Dalâlah al-‘Arabi, Beirût: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1996.
al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn, Kitâb al-Asybâh wa al-Nazhâir fî al-Nahw, Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1996.
Djajasudarma, T. Fatimah, Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Bandung: Eresco, 1993.
--------, Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur, Bandung: Refika Aditama, 2006.
Haidar, Farîd ‘Audh, ‘Ilm al-Dalâlah Dirâsah Nazhariyah wa Tathbîqiyyah, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1999.
Hanafi, Nurachman, Teori dan Seni Menerjemahkan, Flores-NTT: Penerbit Nusa Indah, 1986.
Hilâl, ‘Abd al-Ghaffâr Hâmid, ‘Ilm al-Dalâlah al-Lughawiyah, Kairo: Jâmi‘ah al-Azhar, tt.
Larson, Mildred L. Meaning-based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence, University Press of America Inc., 1984.
Mansyur, Moh. dan Kustiawan, Dalîl al-Kâtib Wa al-Mutarjim, Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2002.
Matsna, Moh. HS, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari, Jakarta: Anglo Media, 2006.
Mujâhid, ‘Abd al-Karîm, al-Dilâlah al-Lughawiyah ‘Inda al-‘Arab, Omman: Dâr Al-Dhiya', tt.
Newmark, Peter, A textbook of Translation, New York: Prentice Hall Inc., 1988.
--------, Aproaches to Translation, Oxford: Pergamon Press, 1981.
‘Umar, Ahmad Mukhtâr, 'Ilm al-Dilalah, Kuwait: Maktabah Dâr al-'Urubah,1982.
[1]Makalah dipresentasikan pada TOT Comunitas Penulis yang diadakan oleh E-Learning Community PP Nurul Jadid tanggal 29-31 Desember 2008
[2]Moh. Mansyur dan Kustiawan, Dalîl al-Kâtib Wa al-Mutarjim (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2002), h. 20.
[3]Peter Newmark, Aproaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981), h. 7. dan Peter Newmark, A textbook of Translation (New York: Prentice Hall Inc., 1988), h. 5.
[4]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, 'Ilm al-Dilalah (Kuwait: Maktabah Dâr al-'Urubah,1982),h. 251.
[5]Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta,cet. I, 2003), h 269.
[6]Fâyiz al-Dâyah, ‘Ilm al-Dalâlah al-‘Arabi (Beirût: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1996), h. 20-21. dan Moh. Matsna HS, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari, (Jakarta: Anglo Media, 2006), h. 27.
[7]Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Kitâb al-Asybâh wa al-Nazhâir fî al-Nahw (Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1996), h. 335.
[8]‘Abd al-Ghaffâr Hâmid Hilâl, ‘Ilm al-Dalâlah al-Lughawiyah (Kairo: Jâmi‘ah al-Azhar, tt), h. 32-33.
[9]Farîd ‘Audh Haidar, ‘Ilm al-Dalâlah Dirâsah Nazhariyah wa Tathbîqiyyah, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1999), h. 56.
[10]T. Fatimah Djajasudarma,Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna (Bandung: Eresco, 1993 ), hal. 6
[11]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, 'Ilm al-Dilalah, h. 37.
[12]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dalâlah, h. 69-70.
[13]T. Fatimah Djajasudarma, Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur (Bandung: Refika Aditama, 2006), h. 36.
[14]Moh Matsna HS, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari, h. 22.
[15]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dalâlah, h. 71.
[16]Farîd ‘Audh Haidar, ‘Ilm al-Dalâlah Dirâsah Nazhariyah wa Tathbîqiyyah, h. 162.
[17]Lihat Mildred L. Larson, Meaning-based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence, (University Press of America Inc., 1984), h. 3.
[18]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dalâlah, h. 251.
[19]Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan (Flores-NTT: Penerbit Nusa Indah, 1986), h. 46.
[20]Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet. 2, 2003), h. 315.
[21]Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 316.
[22]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dalâlah, h. 262.
[23]‘Abd al-Karîm Mujâhid, al-Dilâlah al-Lughawiyah ‘Inda al-‘Arab (Omman: Dâr Al-Dhiya', tt ) h. 106.

No comments: